Tradisi Lisan

Secara umum, istilah tradisi lisan merujuk kepada pengertian ekspresi budaya yang susunan, bentuk, dan cara pengungkapan serta pewarisannya dilakukan melalui bahasa lisan. Analisis terpenting dalam tradisi lisan adalah ucapan (bukan tulisan) beserta perangkat tindakan pengucapannya. Ia kemudian mewujud menjadi praktik komunikasi terpola yang bersumber dari gumpalan pengalaman, gagasan-gagasan, dan praksis sosial, yang bermetamorfosa menjadi bentuk-bentuk luaran (visual-auditif) yang khas, seperti yang terlihat pada upacara-upacara, berbagai genre seni bahasa, seni pertunjukan, dan seni rupa komunal. Begitulah, pada suku-suku atau bangsa yang peraturan dan dinamika kehidupan sosialnya lebih ditentukan oleh rekaman ingatan yang diperoleh secara audio-visual, tradisi lisan adalah pusat jaringan budaya suku atau bangsa tersebut.

Dilihat dari segi fungsinya, tradisi lisan adalah instrumen pembentukan identitas individu dalam komunitasnya dan identitas komunal dalam bangsanya. Ia juga berfungsi sebagai pelestari nilai dan pandangan hidup komunal, cermin reposisi simultan nilai-nilai dan pandangan komunal itu di dalam ruang dan waktu yang berubah, di samping fungsi praktisnya sebagai lembaga edukasi, hiburan, penguat kesadaran kolektif dan solidaritas perkauman, dan lain-lain.

Bacaan Lainnya

Istilah ‘lisan’ menjadi dasar kajian-kajian ‘bentuk lisan (oral-formulaic)’ dan ‘sastra lisan’, yang sering dipertentangkan vis a vis dengan ‘sastra tertulis’. ‘Lisan’ juga mengkualifikasi istilah-istilah umum seperti ‘teks’, ‘puisi’ atau ‘narasi’, dengan meletakkan perbedaan antara bentuk-bentuk tertulis dan lisan atau menyatukan keduanya di dalam perspektif komparatif yang sama. Istilah yang lebih umum, yaitu ‘kelisanan (orality)’ semakin mengemuka pada tahun-tahun belakangan, yang menyiratkan perbedaan umum dengan ‘keberaksaraan (literacy)’. Kadang-kadang ia berkaitan dengan anggapan-anggapan mengenai ciri-ciri sosial dan kognitif komunikasi lisan atau signifikansi budaya lisan di dalam tahap-tahap perkembangan sejarah yang luas.

Sementara itu, istilah ‘tradisi’ mengalami penggunaan dan anggapan makna yang beragam, meliputi ‘kebudayaan’ sebagai suatu keseluruhan, cara baku untuk melakukan segala sesuatu dengan atau tanpa cara-cara lama, serta proses mewariskan praktik-praktik, gagasan-gagasan atau nilai-nilai. Jadi secara tersirat ia diwariskan, kadang-kadang berkonotasi tua, atau tumbuh dengan cara yang alamiah dan sudah biasa. Kata ini juga memiliki konotasi-konotasi sebagai sesuatu yang yang dianggap milik seluruh komunitas (bukan milik individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu), tidak tertulis dan seringkali bernilai kuno, atau menandai identitas kelompok.

Frasa tradisi lisan yang menggabungkan ‘tradisi’ dan ‘lisan’ menyiratkan bahwa tradisi yang dibicarakan bersifat: (1) verbal, (2) tidak tertulis, (3) milik kelompok orang/ kaum/suku/ rakyat, (4) mendasar dan bernilai, dan (5) dianggap sebagai warisan dari generasi ke generasi oleh komunitas ‘kaum’ (bukan tindakan individual yang sadar). Dalam konteks sejarah lisan Henige menjabarkan tradisi lisan sebagai “…kumpulan kenangan masa lalu yang secara umum atau universal dikenal dalam sebuah kebudayaan…[dan] telah diwariskan sekurang-kurangnya beberapa generasi” (1982: 2). Tradisi lisan cenderung didorong oleh sejumlah nilai-nilai yang memiliki akar politis dan personal, seringkali berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas nasional dan kelompok.

Sebagai sebuah istilah, tradisi lisan juga berkerabat dengan sejumlah istilah lain. Kekerabatan itu dihubungkan oleh kesamaan subyek yang dikaji dan sudah dikenal luas pula. Di dalam bukunya Oral Traditions and the Verbal Arts: a guide to research practices (1992), Ruth Finnegan menyenaraikan istilah-istilah yang sering tumpang tindih dengan istilah tradisi lisan ini, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

Propinsi Riau, sebagaimana daerah lain di nusantara, merupakan salah satu wilayah yang memiliki kantong-kantong budaya tradisional yang sangat banyak (cukup signifikan), wilayah yang mempunyai banyak ekspresi lisan. Salah satu di antara tradisi lisan Melayu ialah tradisi yang secara turun-temurun dalam siklus kehidupan, misalnya dalam upacara kelahiran (masa kecil), upacara pernikahan (dewasa), dan upacara kematian (tua). Dalam siklus kehidupan itu, tradisi kelisanan terus dan tetap ada dalam dunia Melayu.

Tradisi lisan Melayu disampaikan secara lisan dan tulisan (sekarang) dan turun temurun. Tradisi lisan tersebut, pada masa lampau menjadi medium utama bagi masyarakat dalam menyampaikan ekspresinya dan bahkan dalam penanaman nilai-nilai terhadap generasi penerus. Tukang-tukang cerita yang piawai pada suatu masa dahulu sangat diperlukan dalam pekerjaan menyampaikan atau menurunkan tradisi lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Namun, pada masa kini, peranan para tukang cerita itu  sebagian besar telah diambil alih oleh buku-buku (melalui keberaksaraan).

Pengungkapan nilai-nilai tradisi Melayu sebagai salah satu tradisi lisan sangat penting dalam mengenal fenomena akar manusia Melayu, terutama mengenal identitas manusia. Berdasarkan hal tersebutlah, adanya upaya  pendokumentasian tradisi lisan Melayu sangat perlu. Demikian pula halnya dengan upaya menerbitkan tradisi lisan tersebut menjadi buku, yang kemudian dapat dikomsumsi oleh semua kalangan masyarakat di Riau terutama generasi muda, yang dewasa ini tengah menghadapi tantangan dari kebudayaan alaf baru.

Eksplorasi dan dokumentasi terhadap tradisi lisan Melayu (orality) di Riau, untuk berbagai kepentingan—antara lain kepentingan akademik, keilmuwan, maupun nonakademik, seperti perencanaan pembangunan—hingga kini belum seutuhnya dilakukan dengan baik dan terprogram. Selain itu, menurut Al azhar pembinaan bukanlah kata kerja yang netral, melainkan berpihak kepada sesuatu gejala, keberadaan, dan atau realitas. Pembinaan biasanya dilakukan terhadap gejala, keberadaan, atau realitas yang diandaikan unggul, berharga/bernilai, tapi: lemah tak berdaya, terbiar apa adanya, atau bahkan terancam keberadaannya. Pembinaan, dengan demikian adalah ihwal manajemen rekayasa teragenda, dengan siklus kerja: identifikasi (existing dan potensi), konseptualisasi, rencana-tindak (action plan), perlakuan (treatments), pengawasan dan pengendalian (supervisi dan kontrol), serta evaluasi. Tujuan opsionalnya: pemberdayaan (empowerment), pemulihan (recoveries) dan revitalisasi, dan perlindungan (protection), baik keadaan dan keberadaannya, maupun fungsi-fungsinya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *