Kampung Langgam

Pada masa awal, kampung ini dikenal dengan Ranah Tanjung Bunga. Perkiraan tersebut menurut sejarah Kerajaan Aceh dimasa sultan Aceh Iskandar Muda Mahkota Alam yang dikenal juga dengan nama Dharma Wangsa berkuasa sekitar tahun 1607 – 1636. Dimasa pemerintahannya pernah melakukan penyerangan ke Kerajaan Gasib dan ke daerah Kampar.

Pada masa itu di daerah Kampar berkuasa tiga orang besar yang bernama: 1) Datuk Unggas Bomban berkuasa di Ranah Tanjung Bunga yang sekarang bernama Langgam); 2) Sultan Betampin berkuasa di Tambak – Segati; 3) Cik Jebuh berkuasa di Bunut (sekarang bernama Pangkalan Bunut).
Ada beberapa periode penamaan kampung yang kini bernama Langgam.

Bacaan Lainnya

Kampung Langgam diperkirakan sudah ada sejak 400 tahun yang lalu. Kampung ini mengalami beberapa periode perkembangan dan penamaan, Yaitu. Pada masa awal, Kampung Langgal dikenal dengan Ranah Macam Pandak, Bukit Bendara Bungsu, Apung Peminggir Laut, Ranah Tanjung Bunga dan terakhir baru bernama Langgam. Soal asal usul nama kampung (toponimi) Langgam ini ada dalam cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Langgam.
Langgam dulunya hamparan lautan yang terbentang luas. Para pedagang dari Minangkabau dan Muaratakus membawa barang dagangan mereka ke Malaka dan Singapura. Begitu pula sebaliknya para pedagang Malaka dan Singapura membawa barang dagangan mereka ke dua daerah itu. Menurut cerita orang tua-tua, konon laut yang dilewati para pedagang itu bernama Laut Embun Jatuh. Saat pedagang itu berlayar, mereka dihadang kabut tebal yang menutupi semua permukaan air laut. Pedagang tak bisa berlayar dan keajaiban datang. Ada gumpulan embun yang menyelimuti seluruh hamparan lautan pelahan-lahan secara ajaib masuk ke dalam air laut. Barulah para pedagang tersebut dapat kembali melanjutkan perjalanan untuki membawa barang dagangannya ke negeri yang dituju. Dari kejadian ini makanya diberi nama Laut Embun Jatuh.

Nama Ranah Tanjung Bunga juga memiliki arti. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya.Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum. Tak hanya berdasarkan kondisi alam, penamaan juga ada cerita rakyatnya. Pada suatu hari, tersebutlah Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya yang tercinta yang bernama Si Omeh Munah dari Koto Candi, yaitu masih keturunan dari daerah Minangkabau ingin berlayarlah ke Malaka untuk sesuatu keperluan yang sangat penting. Setelah berminggu-minggu melakukan perjalanan, tibalah mereka di suatu kawasan yaitu wilayah yang dulunya bernama Laut Embun Jatuh.

Begitu Dondang mereka akan melintas wilayah tersebut, Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya Si Omeh Munah tiba-tiba terkesima bagaikan terkena sihir begitu akan melintas daerah yang dulunya ditutupi embun, kini mereka menyaksikan dari kejauhan suatu pemandangan yang sangat memukau dan menakjubkan. Mereka tidak lagi menyaksikan embun melainkan sebuah pulau yang berada di tengah lautan. Dalam penglihatan mereka, pulau itu tidak ubahnya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar. Tanpa mereka sadari, Dondang (sejenis perahu yang terbuat dari sebatang kayu yang besar) yang membawa mereka berlayar kian mendekat melintasi kawasan pulau itu. Sepasang suami istri yang berada di dalam Dondang makin terpikat akan keindahan panorama alam di sekitar mereka. Akhirnya, istri Sang Datuk mengajak suaminya singgah sebentar untuk beristirahat karena memang mereka telah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, berminggu-minggu lamanya mereka berlayar tanpa melihat tanah tepi .Ajakan istrinya itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan oleh Sang Datuk untuk menyatakan persetujuan.Dengan tidak berpikir panjang Datuk Bandaharo Kayo langsung mengarahkan haluan Dondangnya menuju pulau yang dimaksud.Begitu Dondang sudah merapat, Sang Datuk menambatkan Dondangnya pada sebatang kayu yang ada di tepi tebing pulau.
Sang Datuk menyampaikan keinginannya kepada istrinya.Keinginannya adalah mengajak istrinya untuk menetap di pulau yang baru sehari mereka tempati untuk melepaskan lelah. Rupanya apa yang telah disampaikan Sang Datuk, juga sudah terpikir oleh Si Omeh Munah. Ajakan Sang Datuk langsung disambut baik oleh sang istrinya. Mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Malaka dan mulai saat itu mereka sepakat dan memutuskan untuk menetap di pulau itu sampai akhir hayat hidunya. Konon mereka itulah manusia pertama penghuni daratan baru itu.
Datuk Bandaharo Kayo mulailah menebang kayu untuk membangun sebuah pondok untuk tempat tinggal mereka berdua.Pondok itu harus secepatnya diselesaikan.Karena istrinya pada waktu itu sedang hamil tua, mengandung anak mereka yang pertama.Setelah bangunan pondok selesai, Sang Datuk kelihatan secara diam-diam sedang memikirkan sesuatu. Dan hal itu terbaca pula oleh sang istri, lantas Omeh Munah menanyakan kepada Datuk apa gerangan yang sedang ia pikirkan.
Datuk menjelaskan kepada istrinya bahwa yang sedang ia pikirkan adalah nama yang baik untuk daerah yang sedang mereka huni. Istrinya mengusulkan bahwa pemberian nama daerah yang mereka tempati itu disesuaikan dengan keadaan alamnya. Datuk mengajak Si Omeh Munah pergi ketengah laut untuk melihat pemukiman mereka yang baru itu.Begitu tiba ditengah laut, Datuk Bandaharo Kayo pun menagjak istrinya mengamati keadaan pulau itu kembali dari tengah laut.Setelah puas melihat dengan seksama ke tepi pantai pulau, wajah Datuk Bandaharo Kayo sangat puas dan menggambarkan keceriaan yang tidak pernah ada sebelumnya seperti hari itu. Datuk langsung menawarkan kepada Si Omeh Munah, Bagaimana kalau kita beri nama dengan Ranah Tanjung Bunga.
Datuk Bandaharo pun menjelaskan kepada Si Omeh Munah dengan lancar makna Ranah Tanjung Bunga.Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya.Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum.
Seiring dengan perjalanan waktu, Datuk Bandaharo Kayo beserta istrinya semakin tua juga.Hal itu sangat disadari oleh mereka maka Datuk mengutarakan kepada istrinya bahwa mereka tidak mungkin tetap tinggal di pemukiman yang mereka tempati selama ini.Apalagi pisik mereka sudah mulai melemah, semuanya itu dapat mereka rasakan bahwapisik mereka tidak lagi bisa menahan terpaan angin laut. Akhirnya Sang Datuk beserta anak-anak dan istrinya sepakat untuk pindah ke darat dan jauh dari pantai.
Datuk Bandaharo Kayo beserta keluarganya pun pindah ke daratan yang lebih tinggi.Di situ mereka anak-beranak mulai membuka hutan untuk membuat pemukiman yang baru. Begitu pemukiman itu selesai Sang Datuk memberi nama Pematang Macang Pandak kemudian Pematang Macang Pandak berubah namanya Pematang Cubodak Ampo.Dinamakan Pematang Cubodak Ampo, di pematang itu tumbuh pohon cubodak (pohon nangka), ampo (hampa) tidak memiliki isi. Memang sampai penulis membuat tulisan ini, masih ditemukan pohon nangka yang berbuah tetapi hampa di pematang tersebut.Beliau membangun tempat yang baru itu bagimana layaknya sebuah kampung yang ada di Koto Candi.
Dari tahun ke tahun Ranah Tanjung Bunga penduduknya kian bertambah.Tanahnya semakin bertambah luas pula.Begitu pula halnya dengan Ungge Bomban menjadi pemuda dewasa yang matang.Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perputaran waktu. Ungge Bombanmemutuskan untuk pergi merantau ke Taluk Kuantan.
Ungge Bomban mengutarakan maksudnya itu kepada saudara-saudara wanitanya.Mereka tidak bisa menahan kehendak saudara lelaki mereka satu-satunya.Walupun mereka merasa keberatan akhirnya mereka harus merelakannya.Keesokan harinya Ungge Bomban pun berangkat dengan perbekalan seadanya lalu meninggalkan saudaranya dan tanah kelahirannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, dalam sejarah Langgam ditemukan pula semacam syair yang berbunyi, “ Ranah Tanjung Bunga Serangkai dengan Taluk Kuantan”. Dan kemudian disebut dengan Bakal Mantara artinya Jalan Raya.Bakal Mantara inilah yang disebut tanah serangkai dalam syair di atas.
Seiring dengan perjalanan waktu, Ranah Tanjung Bunga kian berkembang, begitu pula penduduknya terus bertambah.Kegiatan perdagangan terus semakin ramai kerena memang letaknya yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan. Pedagang dari berbagai daerah pun banyak berdatangan ke sana. Suatu kebiasaan, bahwa pedagang telah habis barang dagangannya terjual, mereka beristirahat dan menambatkan jung (perahu berdayung dua) milik mereka di bawah sebatang kayu yang besar. Berbuah lebat yang tumbuh di pinggir laut. Pohon tersebut diberi nama pohon Langgam.
Dinamakan pohon Langgam demikian sejarahnya.Pohon itu mirip dengan pohon embacang, begitu pula bentuk dan ukuran daunnya sangat mirip.Akan tetapi, buahnya menurut penutur mirip dengan mangga golek. Buahnya tidak terlalu manis namun lezat rasanya dan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Pada mulanya, nama pohon tersebut tidak diketahui. Buahnya sangat lebat, apabila sudah masak buahnya mudah jatuh.Setiap pagi dan sore anak-anak bahkan orang tua terutama kaum ibu suka mencarinya.Buah tersebut sangat lembut apabila sudah masak. Jika dipegang, akantertinggal bekas jari-jemari para pemegangnya. Bekas-bekas jari itu dalam bahasa Langgam disebut lenggam.Dalam bahasa Indonesia disebut bekamatau lekam.
Di bawah pohon itulah antara pedagang yang satu dan rekan-rekannya yang lain sering mengadakan perjanjian dagang. Kelaziman tersebut sudah mentradisi dikalangan pedagang-pedagang.Apabila mereka mengadakan suatu perjanjian untuk keperluan atau maksud-maksud tertentu, atau hanya sekedar minta ditunggu untuk bersama-sama pulang, mereka mengatakan tunggu di Langgam. Dari tradisi itulah nama Ranah Tanjung Bunga berubah menjadi Langgam sekarang. Orang banyak lebih mengenal sebutan Langgam dari pada Ranah Tanjung Bunga.
Keterkaitan Ranah Tanjung Bunga sebelum bernama Langgam diyakini masyarakat karena kondisi alam yang di daerah tersebut.Kondisi tanah di Langgam pada umum bergelombang dan dulunya diyakini daerah Langgam dari lautan yang membeku. Rumah-rumah penduduk umum berada di pinggiran sungai.Hingga sekarang rata-rata penduduk Langgam hidup sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melalui Pangkalan Kerinci, jika dibandingkan dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melewati Langgam, lebih dekat melalui Langgam yaitu 95 kilometer. Sampai sekarang dalam susunan msyarakat adat daerah Langgam ada kepala suku yang bergelar Datuk Bandagho (Datuk Bandaharo). Sungai Langgam juga mengalami pasang surut karena Langgam memang tidak jauh dari laut.

Di wilayah Langgam terdapat desa Tambak. Di desa ini tinggal pucuk adat Petalangan yaitu Datuk Rajo Bilang Bungsu. Ada tiga suku yang ada di Tambak, yakni Melayu, Mandailing dan Piliang. Penamaan nama Tambak berasal dari cerita Bujang Selamat yang berlayar dari Johor. Saat di kapal dilihatnya ada pulau yang seperti timbul tenggelam. Saat sampai di darat dan kampung itu memang sering tenggelam karena banjir. Dalam mengatasi kondisi kampung yang sering banjir, diambil inisiatif untuk membendung atau membuat tambak agar air dari sungai dan laut tak membanjiri kampung.
Ada beberapa periode penamaan kampung yang kini bernama Langgam. Ada empat nama sebelumnya, yakni Ranah Macam Pandak, Bukit Bendara Bungsu, Apung Peminggir Laut, Ranah Tanjung Bunga dan terakhir baru bernama Langgam. Soal asal usul nama kampung (toponimi) Langgam ini ada dalam cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Langgam.
Langgam dulunya hamparan lautan yang terbentang luas. Laut yang menjadi tempat berlalu lintas para pedagang dari Minangkabau dan Muaratakus membawa barang dagangan mereka ke Malaka dan Singapura. Begitu pula sebaliknya para pedagang Malaka dan Singapura membawa barang dagangan mereka ke dua daerah itu. Menurut cerita orang tua-tua, konon laut yang dilewati para pedagang itu bernama Laut Embun Jatuh. Saat pedagang itu berlayar, mereka dihadang kabut tebal yang menutupi semua permukaan air laut. Pedagang tak bisa berlayar dan keajaiban datang. Ada kumpulan embun yang menyelimuti seluruh hamparan lautan pelahan-lahan secara ajaib masuk ke dalam air laut. Barulah para pedagang tersebut dapat kembali melanjutkan perjalanan untuki membawa barang dagangannya ke negeri yang dituju. Dari kejadian ini makanya diberi nama Laut Embun Jatuh.
Nama Ranah Tanjung Bunga juga memiliki arti. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya. Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum. Pada suatu hari, tersebutlah Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya yang tercinta yang bernama Si Omeh Munah dari Koto Candi, yaitu masih keturunan dari daerah Minang Kabau ingin berlayarlah ke Malaka untuk sesuatu keperluan yang sangat penting. Setelah berminggu-minggu melakukan perjalanan, tibalah mereka di suatu kawasan yaitu wilayah yang dulunya bernama “Laut Embun Jatuh”.
Begitu Dondang mereka akan melintas wilayah tersebut, Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya Si Omeh Munah tiba-tiba terkesima bagaikan terkena sihir begitu akan melintas daerah yang dulunya ditutupi embun, kini mereka menyaksikan dari kejauhan suatu pemandangan yang sangat memukau dan menakjubkan. Mereka tidak lagi menyaksikan embun melainkan sebuah pulau yang berada di tengah lautan. Dalam penglihatan mereka, pulau itu tidak ubahnya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar. Apalagi si raja siang di pagi yang cerah itu telah menampakkan dirinya dan menebarkan cahayanya yang hangat bersahabat, seakan menyapa dan memberikan sambutan kepada Sang Datuk dan istrinya. Seumur hidupnya, Datuk Badaharo Kayo dan istrinya belum pernah melihat pemandangan seindah ini sebelumnya. Datuk Bandaharo Kayo dan Si Omeh Munah berdecak kagum begitu melihat keelokan pulau ciptaan Yang Maha Kuasa di tenga lautan.
Tanpa mereka sadari, Dondang (sejenis perahu yang terbuat dari sebatang kayu yang besar) yang membawa mereka berlayar kian mendekat melintasi kawasan pulau itu. Sepasang suami istri yang berada di dalam Dondang makin terpikat akan keindahan panorama alam di sekitar mereka. Akhirnya, istri Sang Datuk mengajak suaminya singgah sebentar untuk beristirahat. Karena memang mereka telah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, berminggu-minggu lamanya mereka berlayar tanpa melihat tanah tepi. Ajakan istrinya itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan oleh Sang Datuk untuk menyatakan persetujuan. Dengan tidak berpikir panjang Datuk Bandaharo Kayo langsung mengarahkan haluan Dondangnya menuju pulau yang dimaksud. Begitu Dondang sudah merapat, Sang Datuk menambatkan Dondangnya pada sebatang kayu yang ada di tepi tebing pulau.
Begitu Dondang sudah ditambatkan, suami istri itu pun naiklah ke daratan. Mereka sangat bersyukur karena ternyata pulau yang mereka singgahi tidak hanya ditumbuhi oleh pohon-pohon melainkan juga pulau itu banyak terdapat berbagai jenis buah-buahan. Yang ketika itu sedang berbuah lebat dan juga sudah ada yang masak. Mereka asyik mengitari pesisir pantai pulau, tanpa terasa kiranya Sang Datuk dan istrinya telah mengitari pulau itu hamper tiga jam lamanya. Akhirnya Datuk Bandaharo mengajak Si Omeh Munah untuk kembali ke Dondang.
Si Omeh Munah mulai menjerang air dan menanak nasi. Sementara menunggu nasi masak, Sang Datuk asyik menikmati lezatnya buah yang ranum yang dipetiknya dalam perjalanan tadi. Tak lama kemudian Si Omeh Munah lalu menyuguhkan the panas kepada suaminya. Setelah itu Si Oemh Munah lalu mengambil sapu, kemudian ia membersihkan lantai Dondang lalu membentangkan sehelai tikar. Lantas kemudian menghidangkan makan siang.
Begitu nasi dan lauk sudah terhidang, Si Omeh Munah dan suaminya mulai bersantap siang. Mereka pun makan dengan lahapnya karena memang sedari tadi rasa laparnya melilit perut mereka. Begitu selesai makan Datuk Bandaharo Kayo dan istrinya naik kedarat kemudian kedua insan itu duduk menyandar pada sebatang kayu besar yang telah mereka bersihkan sebelumnya. Mereka sama-sama berdiam diri karena kekenyangan dan juga kelelahan. Akhirnya keduanya diserang rasa kantuk yang teramat sangat dan mereka pun tertidur dengan lelap.
Subuh-subuh kedua suami istri itu sudah bangun mereka shalat subuh berjamaah bersama. Selesai shalat subuh, Si Omeh Munah sudah menyiapkan sarapan pagi. Sambil menikmati sarapan pagi, Sang Datuk menyampaikan keinginannya kepada istrinya. Keinginannya adalah mengajak istrinya untuk menetap di pulau yang baru sehari mereka tampati untuk melepaskan lelah. Rupanya apa yang telah disampaikan Sang Datuk, juga sudah terpikir oleh Si Omeh Munah.
Ajakan Sang Datuk langsung disambut baik oleh sang istrinya. Mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Malaka dan mulai saat itu mereka sepakat dan memutuskan untuk menetap di pulau itu sampai akhir hayat hidunya. Konon mereka itulah manusia pertama penghuni daratan baru itu. Datuk Bandaharo Kayo mulailah menebang kayu untuk membangun sebuah pondok untuk tempat tinggal mereka berdua. Pondok itu harus secepatnya diselesaikan. Karena istrinya pada waktu itu sedang hamil tua, mengandung anak mereka yang pertama. Setelah bangunan pondok selesai, Sang Datuk kelihatan secara diam-diam sedang memikirkan sesuatu. Dan hal itu terbaca pula oleh sang istri, lantas Omeh Munah menanyakan kepada Datuk apa gerangan yang sedang ia pikirkan.
Datuk menjelaskan kepada istrinya bahwa yang sedang ia pikirkan adalah nama yang baik untuk daerah yang sedang mereka huni. Istrinya mengusulkan bahwa pemberian nama daerah yang mereka tempati itu disesuaikan dengan keadaan alamnya. Datuk mengajak Si Omeh Munah pergi ketengah laut untuk melihat pemukiman mereka yang baru itu. Begitu tiba ditengah laut, Datuk Bandaharo Kayo pun menagjak istrinya mengamati keadaan pulau itu kembali dari tengah laut. Setelah puas melihat dengan seksama ke tepi pantai pulau, wajah Datuk Bandaharo Kayo sangat puas dan menggambarkan keceriaan yang tidak pernah ada sebelumnya seperti hari itu. Datuk langsung menawarkan kepada Si Omeh Munah, Bagaimana kalau kita beri nama dengan Ranah Tanjung Bunga.
Datuk Bandaharo pun menjelaskan kepada Si Omeh Munah dengan lancar makna Ranah Tanjung Bunga. Ranah artinya tanah yang rata, daratan rendah, tanah yang perpaya-paya. Sedangkan Tanjung adalah tanah yang menyorong ke laut, dan Bunga adalah sejenis tanama hias yang jenisnya bermacam-macam dan menebarkan aroma yang sangat harum.
Seiring dengan perjalanan waktu, Datuk Bandaharo Kayo beserta istrinya semakin tua juga. Hal itu sangat disadari oleh mereka maka Datuk mengutarakan kepada istrinya bahwa mereka tidak mungkin tetap tinggal di pemukiman yang mereka tempati selama ini. Apalagi pisik mereka sudah mulai melemah, semuanya itu dapat mereka rasakan bahwapisik mereka tidak lagi bisa menahan terpaan angin laut. Akhirnya Sang Datuk beserta anak-anak dan istrinya sepakat untuk pindah ke darat dan jauh dari pantai.
Datuk Bandaharo Kayo beserta keluarganya pun pindah ke daratan yang lebih tinggi. Di situ mereka anak-beranak mulai membuka hutan untuk membuat pemukiman yang baru. Begitu pemukiman itu selesai Sang Datuk memberi nama Pematang Macang Pandak kemudian Pematang Macang Pandak berubah namanya Pematang Cubodak Ampo. Dinamakan Pematang Cubodak Ampo, di pematang itu tumbuh pohon cubodak (pohon nangka), ampo (hampa) tidak memiliki isi. Memang sampai penulis membuat tulisan ini, masih ditemukan pohon nangka yang berbuah tetapi hampa di pematang tersebut. Beliau membangun tempat yang baru itu bagimana layaknya sebuah kampung yang ada di Koto Candi.
Dari tahun ke tahun Ranah Tanjung Bunga penduduknya kian bertambah. Tanahnya semakin bertambah luas pula. Begitu pula halnya dengan Ungge Bomban menjadi pemuda dewasa yang matang. Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perputaran waktu. Ungge Bomban memutuskan untuk pergi merantau ke Taluk Kuantan.
Ungge Bomban mengutarakan maksudnya itu kepada saudara-saudara wanitanya. Mereka tidak bisa menahan kehendak saudara lelaki mereka satu-satunya. Walupun mereka merasa keberatan akhirnya mereka harus merelakannya. Keesokan harinya Ungge Bomban pun berangkat dengan perbekalan seadanya lalu meninggalkan saudaranya dan tanah kelahirannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, dalam sejarah Langgam ditemukan pula semacam syair yang berbunyi, “ Ranah Tanjung Bunga Serangkai dengan Taluk Kuantan”. Dan kemudian disebut dengan Bakal Mantara artinya Jalan Raya. Bakal Mantara inilah yang disebut tanah serangkai dalam syair di atas.
Seiring dengan perjalanan waktu, Ranah Tanjung Bunga kian berkembang, begitu pula penduduknya terus bertambah. Kegiatan perdagangan terus semakin ramai kerena memang letaknya yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan. Pedagang dari berbagai daerah pun banyak berdatangan ke sana. Suatu kebiasaan, bahwa pedagang telah habis barang dagangannya terjual, mereka beristirahat dan menambatkan jung (perahu berdayung dua) milik mereka di bawah sebatang kayu yang besar. Berbuah lebat yang tumbuh di pinggir laut. Pohon tersebut diberi nama pohon Langgam.
Dinamakan pohon Langgam demikian sejarahnya. Pohon itu mirip dengan pohon embacang, begitu pula bentuk dan ukuran daunnya sangat mirip. Akan tetapi, buahnya menurut penutur mirip dengan mangga golek. Buahnya tidak terlalu manis namun lezat rasanya dan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Pada mulanya, nama pohon tersebut tidak diketahui. Buahnya sangat lebat, apabila sudah masak buahnya mudah jatuh. Setiap pagi dan sore anak-anak bahkan orang tua terutama kaum ibu suka mencarinya. Buah tersebut sangat lembut apabila sudah masak. Jika dipegang, akan tertinggal bekas jari-jemari para pemegangnya. Bekas-bekas jari itu dalam bahasa Langgam disebut lenggam. Dalam bahasa Indonesia disebut bekamatau lekam.
Di bawah pohon itulah antara pedagang yang satu dan rekan-rekannya yang lain sering mengadakan perjanjian dagang. Kelaziman tersebut sudah mentradisi dikalangan pedagang-pedagang. Apabila mereka mengadakan suatu perjanjian untuk keperluan atau maksud-maksud tertentu, atau hanya sekedar minta ditunggu untuk bersama-sama pulang, mereka mengatakan tunggu di Langgam. Dari tradisi itulah nama Ranah Tanjung Bunga berubah menjadi Langgam sekarang. Orang banyak lebih mengenal sebutan Langgam dari pada Ranah Tanjung Bunga.
Keterkaitan Ranah Tanjung Bunga sebelum bernama Langgam diyakini masyarakat karena kondisi alam yang di daerah tersebut. Kondisi tanah di Langgam pada umum bergelombang dan dulunya diyakini daerah Langgam dari lautan yang membeku. Rumah-rumah penduduk umum berada di pinggiran sungai. Hingga sekarang rata-rata penduduk Langgam hidup sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melalui Pangkalan Kerinci, jika dibandingkan dari Pekanbaru ke Taluk Kuantan melewati Langgam, lebih dekat melalui Langgam yaitu 95 km. Sampai sekarang dalam susunan masyarakat adat daerah Langgam ada kepala suku yang bergelar Datuk Bandagho (Datuk Bandaharo). Sungai Langgam juga mengalami pasang surut karena Langgam memang tidak jauh dari laut.
Batas-batas wilayah Datuk Rajo Bilang Bungsu di Kecamatan Langgam, yaitu:
Sebelah timur berbatasan dengan tanah Raja Banda Ruhum
Sebelah selatan berbatasan dengan tanah Datuk Maharaja Besar
Sebelah utara berbatasan dengan tanah Batin Muncak Rantau
Sebelah barat berbatasan dengan tanah Datuk Besar Gunung Sahilan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *