Murid Durhaka, Daik – Kepulauan Riau

Gunung Daik, Lingga. (foto:kosabudaya.id)

“Mud, gua datang ke sini bukan mau minta uang. Tapi gua datang sini buat ingin bertemu dengan lu. Gua rindu betul sama lu. Mud, lu lebih baik balik ke Daik. Mahmud tak usahlah buat kotor di istana raja ini. Malu kita orang Daik. Mahmud ingat tidak, Apek mau Mahmud menjadi orang baik.”

Begitu Mahmud mendengar jawab Apek seperti itu, dia pun menjadi marah. Dia sudah tahu, bahwa Apek Huang Tai datang dipanggil oleh Sultan Palembang untuk mengalahkan dia. Oleh sebab itu dia pun membentak Apek Huang Tai.

Bacaan Lainnya

“E, Pek lu jangan banyak cakap. Lu tahu tak, gua di sini Panglima Kerajaan Palembang. Sekarang lu mesti dengar gua punya cakap. Kalau lu mau hidup, cepat-cepat lu balik ke Daik. Gua beri lu uang. Lu bisa selamat kalau lu tak mau, lu gua binasakan di sini. Gua tak peduli lu adalah guru gua. Sekarang gua yang kuasa. Sekarang lu boleh pergi.”

Mendengar cakap Mahmud begitu, Apek Huang Tai pun menangkis pula.

“E, lu Mud. Lu jangan kurang ajar. Lu tahu tidak, Apek adalah guru Mahmud. Kalau Mahmud kurang ajar Apek akan beri pengajaran pada Mahmud. Apek tak mau Apek punya murid jadi orang durhaka kepada raja. Dulu Mahmud Apek ajar supaya jadi orang baik-baik, suka menolong orang dan suka membantu orang”.

Mendengar Apek Huang Tai be­gitu, Mahmud pun membentak pula.

“E, Pek, lu jangan hendak macam-macam di sini. Sekarang lu gua hukum.”

Menengok gelagat Mahmud serupa itu, Apek Huang Tai berkata.

“Mud, sekarang kalau Mahmud tak mau balik ke Daik terpaksalah Apek paksa Mahmud balik ke Daik. Biar bagimanapun Mahmud mesti Apek bawa balik”.  

Mahmud pun menjawab, “Apek  cobalah kalau lu berani”.

Begitu Apek mendekat Mahmud pun berlari ke luar ista­na dayang-dayang istana menjadi gempar. Raja pun sudah hadir Apek Huang Tai pun ke luar mengikuti Mahmud. Di luar is­tana terjadilah perkelahian yang antara guru dan murid. Keduanya sangat tangkas tangguh. Guru dan murid sama-sama mempunyai gerakan dan jurus-jurus pukulan yang serupa. Semua yang hadir melihat dengan terpesona. Raja Palembang menyaksikan perkelahian antara guru dan murid itu dengan takjub dan kagum. Tak ada suara yang terdengar selain dari bunyi pukulan-pukulan tinju, tendang dan dengusan-dengusan nafas mengadu kekuatan. Cuma Apek Huang Tai agak kepayahan karena usianya sudah tua. Sedangkan Mahmud masih muda, cerdas dan bersemangat serta bertekad akan membunuh gurunya.

Akhirnya pukulan-pukulan Apek Huang Tai nampak semakin mengendur dan nafasnya tersengal-sengal kepayahan. Dalam keadaan serupa itu, teringatlah ia akan titian yang telah dipersiapkan. Secara pelan-pelan Apek Huang Tai bergerak mundur sambil bersilat ke arah titian. Sesampainya di titian itu Apek Huang Tai dengan segala kekuatannya menyerang Mahmud, sehingga Mahmud mundur dan menginjak titian tersebut. Dan pada saat yang bersamaan dikirimkan lagi oleh Apek Huang Tai suatu jurus pukul yang amat berbahaya sehingga Mahmud menggunakan segala kekuatannya mengelakan serangan itu. Akhir­nya keduanya berkelahi di atas titian itu.

Oleh karena berat dan ditambah pula dengan gerakan-gerakan yang keras dan hebat, maka titian itu patah dan kedua­nya jatuh ke dalam parit. Pada saat itulah Mahmud sempat mengirimkan suatu pukulan maut pada gurunya, dan pada saat yang bersamaan pula Apek Huang Tai dapat pula mencederai Mahmud sehingga membawa ajalnya.

Demikianlah akhirnya kedua guru dan murid itu mati bersama-sama di dalam parit itu. Sampai saat ini cerita ini masih dikenang orang di daerah Kecamatan Lingga, terutama di daerah  Panggak   Darat.   Terutama kepada guru-guru pencak silat. diingatkan supaya jangan mengajar semua rahasia ilmu silat kepada muridnya, sekalipun kepada murid yang paling disayang, kecuali anak kandung sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *