Murid Durhaka, Daik – Kepulauan Riau

Gunung Daik, Lingga. (foto:kosabudaya.id)

ALKISAH! Tidak seberapa jauh dari ibukota Kerajaan Lingga ada sebuah dusun bernama Panggak Darat. Letak Panggak Darat ini kira-kira dua kilometer dari kota Parit atau kota kerajaan. Dalam dusun itu ada pula suatu daerah tempat orang berkebun yang terletak di atas bukit yang bernama Bukit Tunggul Angus.

Di Bukit Tunggul Angus ini tinggallah seorang apek, yaitu seorang cina tua yang bergelar Apek Huang Tai, artinya Angin Besar. Gelar  ini  diperolehnya karena ia sangat pandai dalam ilmu pencak silat. Apek Huang Tai ini mempunyai seorang murid yang terkenal kepandaiannya bernama Mahmud. Mahmud berasal dari Panggak Darat. Apek Huang Tai sayang kepada Mahmud, karena Mahmud selain amat cerdas dalam menuntut ilmu silat ia juga amat taat dan patuh.

Bacaan Lainnya

Demikianlah setelah sekian purnama berguru pada Apek Huang Tai, maka tamatlah pelajaran silat yang dipelajarinya. Oleh karena sayangnya kepada Mahmud, Apek Huang Tai mengajar semua rahasia silat yang dimilikinya, sehingga tidak ada satu pun rahasia pukulan ataupun jurus-jurus yang tidak diajarkannya.

Setelah habis semua ilmu silat itu diajarkan oleh Apek, suatu hari berkatalah Apek Huang Tai kepada Mahmud dengan mempergunakan bahasa Melayu Daik logat Cina.

“Mud, lu sekarang sudah habis belajar silat. Gua pikir semua ilmu yang gua punya sudah gua ajarkan  pada Mahmud. Cuma gua ada pesan sikit sama Mahmud, jangan digunakan untuk pekerjaan yang tidak  baik. Dengan il­mu Mahmud harus sabar, harus dapat menahan diri, janganlah memukul orang  atau menganiaya orang dengan semena-mena. Bahkan gua harap dengan ilmu ini Mahmud dapat menolong orang yang lemah. Akan tetapi jika Mahmud bertemu de­ngan orang yang betul-betul jahat, dan mau mencelakakan Mah­mud, bolehlah lu pakai ini ilmu silat. Nah inilah gua punya pe­san supaya Mahmud tetap jadi orang baik. Percayalah Mud, apabila lu ingat gua punya pesan ini lu akan selamat kemana lu pergi. Kalau lu langgar, pasli lu akan celaka.”

Mendengar pesan gurunya itu Mahmud menekurkan kepalanya sambil mengangguk-angguk tanda paham dan mengerti. Kemudian dia  berkata.

“Insya Allah Pek, gua akan mengikuti semua pesan-pesan Apek. Gua sangat berterima kasih sama Apek yang telah mengajar gua bersilat. Gua tak dapat membalas budi baik  Apek yang telah  Apek  berikan  kepada gua. Cuma gua ingin benar sekedar membalas budi baik Apek ini. Gua ada  punya sebidang dusun durian peninggalan orang tua gua. Separuh dari dusun durian ini gua ingin berikan kepa­da Apek untuk hidup Apek, sebab Apek sudah tua supaya tak usah kerja keras lagi, Gua harap benar Pek, supaya lu terimalah pemberian gua ini sebagai kenang-kenangan.

Dengan air mata yang berlinang, Apek Huang Tai menja­wab dengan suara serak.

“Baiklah Mud, gua terima.”

Mahmud kemudian menyalami gurunya yang dicintainya itu. Pekerjaan Mahmud sehari-hari sebagai seorang peraih (pedagang), dia berniaga dari suatu tempat ke tempat lain dengan mempergunakan sampan. Akhirnya sampailah ia ke Palembang.

Pada masa itu di Kerajaan Palembang ada seorang panglima yang sangat termasyhur gagah perkasanya bergelar Pangli­ma Ayam Berkokok. Kepandaian dan  kegagahan serta kehandalan Panglima Ayam Berkokok ini belum ada tandingan di negeri Palembang itu sendiri maupun dari negeri-negeri lain yang ada di sekitarnya. Kebiasaan Panglima Ayam Berkokok, setiap pagi hari, tengah hari dan petang hari berkokok seperti ayam jantan. Maksudnya ialah hendak mencari lawan yang berani menjawab kokoknya itu. Oleh sebab itulah dia mendapat gelar Panglima Ayam Berkokok.

Ketika Mahmud sampai di Palembang, terdengarlah bunyi suara orang berkokok. Maka dengan tidak berpikir panjang lagi Mahmud pun menjawab bunyi kokok ayam tadi. Tapi Mahmud sendiri tidak tahu siapa yang berkokok dan apa maksud ia berkokok. Dia cuma senang-senang saja menjawab suara kokok itu.

Tiba-tiba datanglah seorang pengawal kerajaan Palembang bertanya.

“Hei orang yang ada di perahu. Siapa yang berko­kok tadi?”

Kawan Mahmud yang ikut serentak menjawab bahwa yang berkokok tadi Mahmud, sambil menunjuk ke­pada Mahmud.

Pengawal tadi menjelaskan bahwa barang siapa yang berani menjawab bunyi kokok ayam tadi, dia harus menghadap Sultan Palembang. Pengawal tadi menjelaskan bahwa yang berkokok tadi bukanlah ayam, tetapi suara Panglima Ke­rajaan Palembang yang ingin mencari lawan yang berani melawannya bertanding sampai mati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *