Si Lancang, Asal Mula Burung Pergam – Inderagiri Hulu

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

Keempat istrinya tertawa terderai-derai.

“Meskipun engkau tak mengakui aku ini ibumu, karena engkau malu mengakui di depan istrimu yang cantik-cantik ini, aku tetap saja ibumu, anakku.”

Bacaan Lainnya

“Bukan, engkau bukan ibuku,” kata si Lancang lagi lebih keras.

“Sekali lagi,” kata orang tua itu sangat pelan karena air matanya sudah mulai berkucuran, “Tidak maukah engkau mengakui aku ini ibumu?

“Tidak,” kata si Lancang sekeras-kerasnya. “Engkau bukan ibuku.”

Orang tua itu pun terdiam beberapa saat. Sudah habislah usahaku mengingatkanmu, kata ibu si Lancang dalam hati.

“Baiklah!” kata perempuan tua itu lagi. “Kau terimalah ganjaran ulahmu!”

Ibu si Lancang pun pergi sambil melemparkan bungkusan daun pisang berisi lempeng dedak. Makanan kesukaan si Lancang pada masa dulu itu ikut menjadi saksi atas perbuatan durhaka seorang anak terhadap ibunya.

Perempuan tua itu pun pulanglah ke pondok­nya. Ia berjalan terus ke tempat lesung padinya. Ditelungkup dan ditelentangkannya lesung itu berkali-kali sambil berkata, “Wahai Yang Maha Kuasa! Inilah lesung yang telah memberi makan dan membesarkan anakku. Karena dia tidak mengaku ibunya yang sebenarnya, yang telah mengandung dirinya sembilan bulan sepuluh hari, yang telah memberinyaminum dengan air susuku ini maka tunjukanlah kekuasaan-Mu atasnya!”

Maka dengan serta merta gelaplah hari. Kilat dan halilintar sambung-menyambung, dan angin ribut yang dahsyat pun turun seperti menggoncangkan bumi. Pekik dan teriak orang terdengar ke mana-mana, hingar-bingar penuh dengan rasa ketakutan.

“Tunjukanlah kekuasaan-Mu, wahai Yang Maha Kuasa!” sayup-sayup masih terdengar suara ibu si Lancang meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menghukum anaknya yang durhaka.

Dalam keadaan seperti itu si Lancang sadarlah si Lancang atas perbuatannya yang mengabaikan ibunya. Ia menyebut dan memanggil ibunya berkali-kali.

“Ibu…! Ibu…! Ibu…! Ibu…! Ibu…!”

Hari semakin gelap, angin pun semakin kencang menderu. Si Lancang terus berteriak. “Ibu…! Ibu…! Ibu…!” Teriakannya pun ditelan kegelapan dan pekikan semua yang ada di kapal itu.

Si Lancang sudah mulai sadar bahwa ia sudah sangat terlambat. Badai dahsyatpun berubah menjadi angin puting beliung menghantam seisi kapalnya hingga hancur porak-poranda. Dalam sekejap mata rata ditelan laut.

Pagi harinya ketika penduduk desa itu melihat pelabuhan tempat di mana kapal si Lancang berlabuh penuh dengan burung-burung beterbangan di atasnya. Dalam keramaian burung itu ada seekor burung pergam berbunyi “bu… ibu…”

Kata orang-orang di desa itu burung pergam itu jelmaan dari si Lancang yang telah mendurhaka kepada ibunya. Burung itupun terbang dari bumbung rumah ke bumbung rumah memanggil “Ibu…! Ibu…! Ibu…! Ibu…! Ibu…!”

Demikianlah kata si empunya cerita asal mula burung pergam. Oleh kuasa yang Mahakuasa si Lancang dihukum menjadi burung pergam***

Cerita ini bermula dari Si Lancang (Asal Mula Burung Pergam) disadur dari buku Cerita Rakyat Indragiri Hulu (1996) yang diterbitkan Pemerintah Daerah Tk. II Indragiri Hulu

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *