Si Lancang, Asal Mula Burung Pergam – Inderagiri Hulu

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

Kata orang tua-tua,setinggi-tinggi bangau terbang, hinggap di kubang jua. Demikianlah halnya dengan si Lancang. Pada suatu hari ia berkata kepada keempat istrinya bahwa ia ingin hendak pulang ke kampung halamannya, untuk berjumpa dengan ibunya.

“Rindu benar hatiku ingin bertemu dengan ibuku,” katanya.

Bacaan Lainnya

Keempat orang istrinya gembira mendengar kata-kata si Lancang. Mereka ingin mengunjungi kampung halaman suaminya, ingin bertemu dengan mertuanya. Lalu berangkatlah si Lancang dari rantau yang jauh dengan tujuh buah kapal. Setiap kapal bermuatan barang-barang yang berlainan. Semua muatan itu hendak dibawa sebagai oleh-oleh untuk ibunya.

Setelah menempuh lautan luas, sekian tanjung, sekian teluk dan sekian pulau, sampailah rombongan si Lancang ke halaman kampungnya. Ke tujuh buah kapal itupun merapatlah ke tepi tebing. Bukan main ramainya orang kampung datang melihat. Belum pernah selama ini ada tujuh buah kapal sekaligus datang merapat ke tempat itu.

Di antara orang-orang itu ada juga orang yang mengenal si Lancang. Lalu ia pun pergi berlari menuju ke pondok tempat ibu si Lancang tinggal.

“Ibu! Ibu! ” teriak orang itu dari halaman.

“Ada apa?” tanya si ibu lancang.

“Si Lancang pulang, ia sudah pulang,” katanya.” Ia datang dengan tujuh buah kapal. Istrinya empat orang. Sudah kaya raya dia nampaknya.”

Bukan main gembiranya hati ibu si Lancang mendengar kabar itu. Ia pun segera bersiap hendak pergi ke tebing tempat kapal-kapal tertambat. Dengan tergesa-gesa ia sempat juga membawa lempeng dedak kesukaan anaknya, si Lancang, di bungkus dalam daun pisang.

“Tentu anakku akan lahap memakan lempeng dedak ini,” kata ibu si Lancang.

Setelah sampai di tebing dilihatnya seorang anank muda yang gagah berpakaian indah di dampingi oleh empat orang perempuan sedang berdiri di anjungan kapal. Si ibu segera mengenali anaknya. Dan ia pun berteriak.

“Lancang, si Lancang! Engkau kah itu nak?” tanya ibu Lancang.

Keempat istri si Lancang menoleh ke arah perempuan tua yang buruk itu. Mereka menertawakan ibu si Lancang sejadi-jadinya. Istri si Lancang yang termuda terkekeh-kekeh sampai berhamburan air matanya.

“Ini Lancang bukan? bila dikau sampai nak?” tanya ibu si Lancang.

“Lancang! ini ibumu!” Seru ibu si Lancang.

“Lihatlah, perempuan tua gila mengaku ibu suamiku”, katanya sambil ketawa.

“Lancang, tak kenalkah engkau padaku?” katanya ibu lagi.

“Tentu saja kenal,” salah seorang istri si Lancang berkata sambil mengejek.” Siapa pula yang tak kenal kepada perempuan gila!”

Istri-istri si Lancang yang lain terus mengetawakan perempuan tua itu, Si Lancang diam tak berkata-kata. Mukanya pucat, dan ibu si Lancang pun mengerti mengapa si Lancang tidak mau mengaku ibunya sendiri. Anaknya telah dipengaruhi oleh harta dan perempuan cantik. Ia telah melupakan ibunya.

“Lancang aku ini ibumu,” kata perempuan tua itu lagi.” Katakan terus terang, tak maukah engkau mengakui ibumu yang sebenarnya?”

Keempat istri si Lancang memandang kepada suaminya. Mereka menunggu jawaban dari bibir lelaki itu.

“Tidak!” kata si Lancang tergagap-gagap.” Kamu bukan ibuku.”

“Sekali lagi aku tanya padamu.” kata peremĀ­puan tua itu lagi.

“Tidak maukah engkau mengakui ibumu yang sebenarnya?”

“Kamu bukan ibuku!” kata si Lancang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *