Selembang Karang

Calempong. Ilustrasi. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Penasihat kerajaan mengatakan bahwa gong itu ingin diberi nama. Maka, dikumpulkanlah kembali seluruh masyarakat Bukit Harang untuk memberikan nama kepada gong. Berbagai usulan dan saran nama sudah diajukan. Setiap datuk suku juga ditanya tentang nama benda tersebut. Tetapi tidak ada satu usulan pun yang membuat hati sang raja merasa tertarik.

Pada saat itu datanglah seorang perantau dari seberang Bukit Harang yaitu dari semenanjung Malaya yang bersuku Melayu. Dia mengatakan kepada sang raja.

Bacaan Lainnya

“Wahai sang raja, mudah sebenarnya mencari nama gong kecil ini. Kita lihat saja kesaktiannya bahwa suara yang dihasilkan oleh gong terdengar oleh seluruh orang yang ada di Bukit Harang. Jadi kita beri saja nama Sekelimang (Sekeliling) Harang.”

Mendengar hal itu raja menyetujuinya. Dalam pikiran raja bahwa nama tersebut cocok dengan kesaktian yang dimiliki oleh benda itu sendiri. Lambat laun karena adanya perubahan bahasa, maka nama Sekelimang Harang berubah menjadi Selembang Karang.

Karena kepintaran perantau dari suku Melayu dalam memberikan nama Selembang Karang, maka sang raja memberikan hadiah. Hadiah tersebut berupa jabatan dalam posisi sebagai Datuk Bendahara (setingkat Perdana Menteri). Oleh sebab itulah yang berhak menjadi Datuk Bendahara adalah dari Suku Ampu dan Suku Melayu. Sampai saat ini, hal tersebut tetap berlangsung dalam prosesi adat-istiadat.

Setelah pemberian nama Selembang Karang diputuskan oleh raja, gong kecil itu tidak lagi berbunyi pada tengah malam.

Seiringnya waktu yang berjalan dalam kehidupan Kerajaan Bukit Harang, maka Selembang Karang yang semulanya kecil ternyata hidup dan berkembang menjadi besar. Ia tidak lagi menjadi gong kecil (celempong) tetapi sudah menjadi gong pada umumnya.

Hingga akhirnya pada suatu malam, bermimpilah salah seorang dubalang kerajaan bahwa Selembang Karang ingin menikah. Hal inipun diceritakan kepada raja. Mendengar cerita dari dubalang, raja tertawa tak percaya. Tapi, raja tetap memutuskan bahwa Selembang Karang perlu seorang teman untuk bersamanya.

Raja kemudian memerintah untuk mengambil tatawak (gong biasa) milik sang raja sebagai kawan Selembang Karang. Sehingga itulah sebabnya Selembang Karang menjadi dua saat ini.

Hari terus berlalu, lautan yang dahulunya luas sekarang dangkal dan berubah menjadi daratan. Banyak penduduk yang berpindah dari Bukit Harang turun gunung ke daerah lembah lautan yang telah menjadi daratan. Akhirnya seluruh penduduk dan Kerajan Bukit Harang pindah ke daratan yang luas yang saat ini bernama Dalu-dalu. Begitu juga Selembang Karang yang merupakan benda sakti kerajaan juga dibawa.

Masyarakat yang pindah kemudian membentuk kerajaan baru yang bernama Kerajaan Tambusai. Dalam kerajaan tersebut semua hidup dalam kedamaian, suku-suku saling berdampingan. Begitu juga Selembang Karang dirawat dengan baik. Keluarga kerajaan memberi tempat khusus untuk gong tersebut yang terbuat dari rotan. Rotan ini dijalin dalam bentuk keranjang yang diberi nama kudei.

Apabila terjadi kematian dari keluarga raja, maka Selembang Karang akan berbunyi sejauh 3 kilometer. Penduduk yang berada disekitar Dalu-dalu akan mendengarkan suara tersebut. Namun setelah raja dari Kerajaan Tambusai yang bernama Tengku Muhammad Yudo wafat, maka Gong Selembang Karang tidak berbunyi lagi.

Tetapi, sebagian masyarakat menyakini bahwa Gong Selembang Karang masih berbunyi hingga saat ini. Hal ini terjadi apabila ada pihak keturunan kerajaan yang meninggal dunia atau akan terjadi bala di negeri Dalu-dalu.

Sekitar tahun 2008, masyarakat selalu mengadakan upacara pemandian Gong Selembang Karang setiap tahunya. Masyarakat akan turun berbondong-bondong ke sungai. Hal ini dipimpin langsung oleh salah seorang pemegang datuk adat (pucuk suku) dari suku Ampu yang bernama Abdul Aziz Gelar Datuk Sinaro Mudo. Tetapi setelah kekuasaan pucuk suku diserahkan kepada orang lain, upacara pemandian Selembang Karang tidak dilaksanakan lagi.

[Sumber : Abdul Aziz Gelar Datuk Sinaro Mudo | Pencatat: Dini Haruni | Editor: Redaksi]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *