Selembang Karang

Calempong. Ilustrasi. (foto: folklor.kosabudaya.id)

SELEMBANG KARANG adalah sebuah gong yang diyakini oleh masyarakat sebagai benda hidup. Gong ini masih disimpan dan dijaga oleh orang yang dipercaya dapat menjaganya yaitu golongan bangsawan suku Melayu yang ada di Dalu-dalu, Tambusai.

Selembang Karang saat ini tidak lagi digunakan untuk mengiringi tradisi berarak atapun gendang beregung. Calempong ini hanya disimpan sebagai benda bersejarah negeri Dalu-dalu.

Bacaan Lainnya

Legenda Selembang Karang
Alkisah, pada zaman dahulu kala tersebutlah sebuah kerajaan yang berada di daerah Pegunungan Sibuhuan yang bernama Kerajaan Bukit Harang. Masyarakatnya hidup sejahtera. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah berburu, berladang dan juga mencari ikan.

Kerajaan Bukit Harang terdiri dari empat suku besar yaitu Ampu, Melayu, Kuti dan Bonuo. Keempat suku hidup damai dan rukun.

Pada saat itu, negeri Dalu-dalu masih berupa lautan luas yang tak berpenghuni. Hanya Bukit Harang dan beberapa gugusan Bukit Barisan yang menjadi daratan. Kedua bukit tersebut merupakan bagian dari Pegunungan Sibuhuan. Aktivitas masyarakat hanya berkisar disekitar kedua bukit tersebut.

Masyarakat Harang mempunyai sebuah danau larangan. Danau tersebut bernama danau Payo Loging. Setiap tahun di danau larangan dilaksanakan upacara pembukaan danau. Semua usia turun menangkap ikan. Tua muda, laki-laki perempuan menyambutnya dengan suka cita. Setiap orang membawa alat tangkapan tradisional berupa sosawuk, tangguk godang dan sebagainya.

Saat penangkapan berlangsung, suara riak dan gemercik air danau seakan mengiringi gelak tawa para penduduk kampung. Apabila seseorang mendapatkan ikan, maka semua orang bersorak sorai gembira. Apalagi ikan yang telah dapat dipegang kemudian lepas di tangan, pastilah semua orang gelak tertawa.

Hal ini berbeda dengan seorang perempuan dari Suku Ampu. Sosawuk yang digunakannya tidak membuahkan hasil. Setiap dia menangguk yang didapatkannya hanya sampah dan pasir.

Siang yang terik telah berlalu, disambut sinar mentari merah yang mulai padam di ufuk barat. Namun tak satupun ikan tertangkap olehnya.

Hampir putus asa datang menyelimuti hati sang perempuan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah beberapa kali mencoba lagi, sebuah benda berat tertangkap masuk ke dalam sesawuknya. Hatipun merasa sedih mulai cerah. Perasaan berdebar-debar seakan mengharapkan ikan besar yang masuk. Perasaan itu tidaklah aneh karena sesawuk yang akan diangkat lumayan berat.

Tapi perasaan tersebut berubah kembali setelah melihat hasil tangkapan, ternyata yang didapat adalah sebuah gong kecil (celempong). Maka gong tersebut pun dibuang kembali ke dalam danau.

Sesawuk pun kembali dimasukkan ke dalam air. Setelah diangkat, ternyata yang didapat juga masih gong kecil tadi. Hal itu terjadi beberapa kali. Ia akhirnya memutuskan untuk membawa gong kecil tersebut dan memasukannya ke dalam keruntung.

Haripun sudah mulai senja. Orang-orang mulai membersihkan semua alat tangkapan, tanda berakhirnya upacara pembukaan danau larangan. Perempuan tersebut pun dengan berat hati juga membereskan alat tangkapannya. Gong kecil yang selalu masuk sesawuknya, juga dibawa pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, gong kecil diletakkan di belakang rumah. Keesokan paginya gong tersebut dijadikan sebagai tempat makanan hewan ternak.

Pertama, gong dijadikan tempat makanan itik, tetapi itik tidak mau makan di dalam gong tersebut. Melihat hal itu, maka si perempuan pun menjadikannya sebagai tempat makanan anjing.

Hal yang sama juga terjadi pada anjing. Betapapun anjing tersebut lapar, tetapi dia juga tidak mau makan di dalam gong. Ketika diberikan kepada ayam, ayampun tidak mau makan.

Hal ini membuat si perempuan penasaran dengan gong itu. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada tetangganya. Para tetangga pun merasa heran, lalu tersebarlah berita gong tersebut ke sekeliling Kerajaan Bukit Harang. Tidak hanya masyarakat awam yang mendengarkan berita tersebut, tetapi juga sampai pada raja, dan raja juga ikut merasa heran.

Dipanggillah si perempuan penemu gong ke istana. Seluruh masyarakat Kerajaan Bukit Harang juga dikumpulkan oleh sang raja. Semua sama-sama menyaksikan kehebatan gong. Ternyata benar apa yang terjadi. Seluruh hewan yang diberi makan dalam gong tidak mau makan. Akhirnya ditetapkanlah bahwa gong milik si perempuan dijadikan sebagai milik sang raja.

Siangpun berlalu, masyarakat semuanya kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan si perempuan yang mendapatkan gong tersebut. Setelah diberi hadiah oleh sang raja, maka perempuan itu juga pulang ke rumah.

Malampun datang menyelimuti perkampungan-perkampungan di Kerajaan Bukit Harang. Sunyi senyap menyertai malam yang gelap gulita. Hanya suara jangkrik dan beberapa hewan malam lainnya yang mengeluarkan suara. Tidak ada yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Namun, ketika malam telah mulai larut dan gelappun telah mencekam, maka barulah terdengar suara aneh menyelimuti kesunyian Kerajaan Bukit Harang.

Pada malam itu, tidak hanya suara jengkrik dan hewan malam yang terdengar, tetapi gong tersebut juga berbunyi. Dengungan bunyi gong terdengar hingga pelosik negeri. Padahal gong kecil tersebut tidak dipukul oleh siapapun. Namun, raja yang berada paling dekat dengan gong tidak mendengarkan suara sedikitpun.

Bunyi dengungan gong terdengar hingga selama tiga hari berturut-turut. Sehingga sang raja pun merasa penasaran. Maka, hal ini ditanyakanlah kepada penasihat kerajaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *