Puteri Mambang Linau dan Bujang Enok-Siak Sri Inderapura

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

Terkabulah keinginan Penghulu Kampung Pematang untuk melihat wajah istri Bujang Enok yang telah menjadi buah bibir orang sekampung itu. Memang sesampainya Bujang Enok di gelanggang keramaian semua mata tertuju kepada istri Bujang Enok yang cantik itu.

Bujang Enok pada saat itu merasa memperoleh sesuatu firasat buruk. Hatinya mulai tidak enak. Setelah Bujang Enok melihat acara demi acara maka sampailah kepada acara terakhir, yaitu acara bebas. pada acara bebas semua orang yang di minta oleh penghulu untuk menari akan ikut menari. Hal terrsebut juga berlaku bagi Bujang Enok dan istrinya. Tidak dapat mengelak lagi karena Bujang Enok sebagai orang yang sudah terpandang amat sukar untuk menolak ajakan itu. Tak dapat tidak ia harus ikut menari. Bujang Enok dan sitrinya menari bersama-sama mengikuti irama gendang. Malam pun semakin larut juga orang-orang satu pun tak ada yang hendak bergerak untuk pulang karena asyik melihat tarian yang indah dimulai dan dibawakan oleh si cantik jelita istri Bujang Enok. Penabuh gendang semakin menjadi-jadi memukul gendangnya dan penari pun mengikuti haluan gendang yang semakin menggila itu.

Bacaan Lainnya

Bujang Enok seakan mau menjerit melihat istrinya tiba-tiba naik ke atas udara sambil berkata: “Selamat tingal kanda”. Istrinya makin lama makin tinggi melanggang-lenggok seperti burung elang dan akhirnya tidak dapat dilihat lagi.

Semua orang terpukau melihat kejadian itu tak tahu apa sebenarnya terjadi, mereka saling pandang. Bujang Enok jatuh pingsan karena ia baru sadar bahwa istrinya sebelum mereka kawin sudah mengingatkan agar dia jangan di seuruh menari. Rupanya pesan itu karena waktu telah berlalu begitu lama maka Bujang Enok lupa akan peringatan isterinya. Apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur. Istri Bujang Enok sudah terbang ke langit. Laksana burung elang mengibas-ngibas, kemudian hilang dibalik kegelapan malam dan tak akan kembali lagi.

Kini tinggallah Bujang Enok sendiri meratapi nasibnya yang malang karena hilang istri yang dicintainya. Bujang Enok bersedih hati, ia menjadi seorang pemburu, hidupnya kini penuh duka, tak tahu ke mana hendak diadukannya nasib malang itu. Tak tahu ia apa yang harus diperbuatnya selain bermenung dan menangis dengan penuh penyesalan.

Sejak malam kejadian lenyapnya istrinya Bujang Enok terbang ke langit itu sudah menjadi cerita yang menghasilkan di seluruh masyarakat kampung itu bahkan sampai ke daerah lain.

Orang kampung merasa kasihan melihat penderitaan yang menimpa Bujang Enok yang ditinggal pergi istrinya itu, penghulu kampung pun merasa menyesal membawa serta istri Bujang Enok menari malam itu. Seandainya Bujang Enok memberi tahu sebelumnya tentulah tidak akan terjadi kisah yang menyedihkan itu. Tapi sayang semua sudah berlalu, apa hendak dikata lagi karena telah terjadi.

Kemudian pada panen berikutnya orang kembali mengadakan keramaian seperti tahun-tahun sebelumnya, menari, menyanyi, dan sebagainya.

Penari-penari yang biasanya ikut meramaikan hari gembira itu kembali mengingat bagaimana lenggang lenggok istri Bujang Enok dulu menari. Kemudian tarian yang pernah ditarikan istri Bujang Enok, yang pada mulanya dinamakan tari elang, karena tari ini adalah tari yang membawakan gerak-gerik elang menukik, menyambar, melenggok, merayap, dan sebagainya. Entah bagaimana kemudian lagi tari elang ini berubah nama menjadi tari olang-olang. Akhirnya tari olang-olang menjadi populer di kalangan masyarakat dan menjadi milik rakyat di daerah itu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *