Puteri Mambang Linau dan Bujang Enok-Siak Sri Inderapura

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

Dahulu kala di Dusun Pematang, yang tidak berapa jauh dari sungai Siak (dulunya disebut Sungai Jantan), hiduplah seorang anak yatim piatu yang bernama Bujang Enok. Bujang Enok sebagai anak desa, kehidupan sehari-harinya adalah mencari kayu api dan mengumpulkan hasil hutan. Setiap hari Bujang Enok bekerja keras membanting tulang guna melanjutkan hidupnya. Dia tinggal di sebuah gubuk yang sudah tua bekas peninggalan orang tuanya. Bujang Enok seorang pemuda yang tekun dan rajin bekerja, sehingga hasil pencariannya cukup untuk menutupi kehidupannya sehari-hari.

Suatu hari sewaktu Bujang Enok pergi ke hutan untuk mencari kayu seperti biasanya, ia sangat terkejut, karena menemui hidangan yang sangat mewah di semak-semak di tempat dia biasanya meletakan bekal yang dibawanya dari rumah untuk dimakannya nanti  setelah selesai bekerja. Makanan yang tidak diketahuinya dari mana datangnya itu membuat Bujang Enok berpikir. Dalam keraguan yang demikian Bujang Enok berusaha mendekati makanan itu. Dilihatnya lebih dekat lagi dan jelaslah bahwa makanan itu adalah nasi biasa beserta lauk pauk yang amat lezat rasanya. Baunya harum menusuk hidung. Timbul niat di hati Bujang Enok untuk memakan makanan itu karena baunya yang merangsang.

Bacaan Lainnya

Tetapi niat itu diurungkannya karena timbul keraguan tersebab dari tidak diketahuinya asal usul makanan itu. Mungkin makanan itu kepunyaan orang lain yang kebetulan pergi ke hutan itu untuk satu tujuan. Bujang Enok terus berfikir, dengan keraguan di hatinya, karena tidak pula mungkin orang lain masuk ke daerah itu menurut biasanya karena hutan itu rimba yang lebat dan jauh dari perkampungan orang. Dialah satu-satunya yang mencari kayu sampai ke sana. Sesudah selesai berpikir, didekatinya lagi makanan itu dan dirabanya, tak salah lagi memang makanan itu bukan makanan manusia.

Dalam keraguan yang demikian Bujang Enok meletakkan bekal yang dibawanya dari rumah tadi. Ia mulai bekerja mencari kayu yang akan dijualnya nanti ntuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Satu persatu kayu dikumpulkannya, dengan pikiran yang masih membayang hidangan aneh yang ditemuinya tadi. Bujang Enok membatin “seandainya dimakan makanan itu, bagaimana ya, apakah nanti akan menimbulkan penyakit atau mengandung racun. Kalau tidak dimakan, wahai akan tersia-sialah makanan yang lezat itu. Biarlah nanti akan ku coba mencicipinya, kalau sampai siang nanti ternyata tidak ada seorang pun yang datang mengambil makan tersebut. Begitulah pikiran Bujang Enok sambil mengumpulkan kayu.

Selesai Bujang Enok mengumpulkan kayu api maka perutnya sudah terasa lapar. Kembalilah ia ke tempat penyimpanan makanannya di simpan tadi. Makanan yang ditemuinya tadi masih utuh seperti dijumpainya semula. Seorang pun nampaknya tidak ada yang datang menjamahnya. Kembali Bujang Enok tergugah dan berniat untuk mencicipinya.

Setelah berpikir-pikir lagi dan didesak oleh keinginannya yang makin menjadi, maka disantapnyalah makan itu tanpa ragu lagi. Kemudian barulah Bujang Enok bersiap untuk pulang membawa kayu api yang telah diikatnya. Sepanjang jalan Bujang Enok masih cemas-cemas juga karena ulahnya tadi. Pikirannya masih bergalau dengan pertanyaan apakah makanan tadi akan menimbulkan akibat yang tidak baik atau akan dapat mematikan. Pada malam harinya tidurlah Bujang Enok dengan nyenyaknya karena tidak ada sesuatu akibat yang buruk timbul dari makanan yang dimakannya siang itu.

Keesokan harinya Bujang Enok pergi ke hutan seperti biasa. Pada hari itu, ia pun menemui makanan seperti yang dijumpainya kemarin, yaitu sejian nasi dengan lauk pauknya. Bujang Enok semakin heran, terpikir olehnya pasti ada yang membawa makanan itu sampai ke tempat ini. Timbul niat dalam hatinya untuk mengintip pelaku dari sajian yang aneh, karena kemarin tidak menimbulkan apa-apa maka dimakannya lagi tanpa ragu-ragu. Selesai mengumpulkan kayu api bersiaplah Bujang Enok untuk pulang ke pondoknya.

Begitu juga pada hari ketiga, peristiwa sajian masih seperti kemarinnya. Bujang Enok sudah bulat tekadnya untuk mengintip, kalau dapat memergoki orang yang telah bermurah hati menyiapkan makanan itu. Pada hari ketiga itu Bujang Enok berangkat lebih cepat dari biasanya, sesampainya di tempat sajian itu, ia bersembunyi di balik semak-semak, sehingga ia tersembunyi dari pandangan orang lain.

Demikianlah, tidak lama kemudian terciumlah bau harum yang menusuk hidung. Bersamaan dengan itu tampaklah seorang bidadari membawa hidangan di atas sebuah talam. Tak salah lagi pikir Bujang Enok. Pastilah ini yang membawa sajian itu. Bujang Enok membelalakkan matanya, dilihatnya sungguh-sungguh, apakah yang terjadi selanjutnya. Bujang Enok menyaksikan betapa puteri cantik jelita itu dengan cermatnya menghidangkan makanan yang dibawanya itu. Setelah menghidangan dengan secepat mungkin, gelagatnya menunjukkan bahwa ia akan segera berangkat. Tetapi Bujang Enok tidak membiarkan peristiwa itu berlalu. Dengan sigap Bujang Enok meloncat tanpa ragu-ragu. Ditangkapnya puteri cantik jelita itu. Dengan meronta-ronta puteri cantik itu berusaha untuk melepaskan diri, tapi Bujang Enok dengan kuat memegangnya. Akhirnya puteri cantik itu menyerah dan pasrah untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Sesaat puteri catik itu agak tenang dan tidak berusaha untuk melepaskan diri. Sesudah itu, barulah Bujang Enok membuka pembicaraan untuk menanyakan siapakah gerangan puteri cantik itu dan siapakah nama dan dari mana asal usulnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *