Ketobong Keramat, Penyalai – Pelalawan

Buku Cerita Rakyat Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

“Apapun syaratnya akan saya penuhi, asal puteri saya dapat hidup kembali,” ujar sang raja dengan sungguh-sungguh.

“Kita harus mengadakan upacara besar-besaran. Semua lilin dihidupakan seluruh ruangan istana. Dan apabila upacara berlangsung tidak diperkenankan mengeluarkan suara dan berjalan-jalan di istana ini,” jelas bomo.

Bacaan Lainnya

Setelah segala perlengkapan sudah selesai, maka sang bomo mulailah melakukan ritual pengobatan secara besar-besaran. Kemenyan dibakar sampai baunya menyebar ke seluruh pelosok negeri. Sambil membaca mantra, sang bomo sibuk menepung-tawari puteri baginda. Keningnya berkerut-kerut, mukanya merah padam, sedangkan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan. 

Sudah hampir sehari semalam lamanya sang bomo memantra-mantrai sang putri. Ketobang yang dipukulnya perlahan-lahan berhenti. Sejurus kemudian, di saat ketobang berhenti dipukul, sang putri mulai bergerak-gerak. Semakin lama kian jelas dan akhirnya mata putri pun terbuka. 

Semua orang yang melihat pada waktu itu merasa kagum, heran, dan ketakutan. Raja dan permainsuri pun gembira bukan main. 

Setelah membuka matanya, sang putri lalu bersin. Kemudian duduk, seolah-olah baru terjaga dari tidur. Baginda yang duduk tak berapa jauh dari tempat sang putri lalu memeluk dan mencium putrinya. Semua hadirin masih terheran-heran, mereka tidak percaya putri bisa hidup kembali. Setelah mengapur sirih tiga kapur, bomo itu keluar meninggalkan istana. 

Suasana istana yang mulanya sepi menjadi riuh riang gembira. Akan tetapi bomo yang meng­obati itu merasa amat menyesal sebab sudah melanggar syarat yang telah ditetapkan oleh gurunya. Sebagai seorang bomo, ia hanya boleh mengobati orang yang sakit. la tidak dibenarkan sama sekali mengobati orang yang tidak sakit, apalagi meng­obati orang mati. Jika ia melanggar syarat itu maka ia makan sumpah dan hidupnya akan teraniaya. 

Di tengah perjalanan pulang ia menangis. Seluruh tubuhnya terasa dingin karena telah melanggar apa yang telah ditentukan oleh gurunya. Sementara itu, diam-diam raja keluar dari istana mengikuti bomo dari belakang. Bomo berjalan terus menuju perahunya yang tertambat di tepi sungai. Raja lalu memerintahkan beberapa pengawalnya mencari perahu bomo yang sedang menuju ke sungai Selempaya. Setiba di muara sungai, perahu yang dikayuh oleh bomo tadi berhenti.

Ternyata sang bomo tahu raja mengikutnya dari belakang. Sebelum ia mengayuh perahunya kembali, ia berkata kepada raja.

“Terima kasih, Baginda telah bersusah payah mengikuti hamba hingga ke sini. Tapi hamba rasa pertemuan kita hanya sampai di sini. Seluruh perintah baginda telah hamba laksanakan, hingga terpaksa melanggar pantang yang telah diberikan oleh guru hamba. Sebab itu hamba bersumpah tidak akan menginjak bumi Pelalawan selagi hamba hidup.” 

Sesudah berkata demikian, dibuangnya ketobong yang digunakan ketika ritual pengobatan sang putri ke dalam air. Ketika itu juga berombaklah air sungai, sang bomo bergegas berlari ke darat. Setelah itu ia berkata lagi kepada baginda.

“Jika baginda ke Pelalawan sampaikan pesan hamba kepada istri hamba, katakan kepadanya, jika ingin bertemu dengan hamba, datanglah ke Selempaya setiap pagi Jumat.” Setelah ia berpesan, ombak tadi pun hilang bersamaan dengan lenyapnya sang bomo. Air jadi tenang kembali, dan tak berapa lama dari dalam air terdengar bunyi ketobong seperti dipalu orang.

Hingga saat ini, penduduk di Penyalai masih sering mendengar bunyi ketobong itu jika turun hujan panas. Sedangkan sang bomo diyakini sampai saat ini masih hidup dan menjadi orang halus atau orang bunian. Sekali-sekali ia menjelma sebagai manusia biasa. Orang-orang yang mencari ikan di sungai Selempaya sering melihatnya.

[Sumber: Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *