Gua Pelintung-Kota Dumai

Pada suatu malam Kaseng bermimpi lagi tapi berbeda dari mimpi-mipi sebelumnya.

“Tuan Kaseng, kami adalah orang yang akan menjunjung perintah tuanku, jadilah tuan pemimpin kami, sesungguhnya pun tuan saat ini berada dipelantaran negeri kami, tuan berdualah yang akan sanggup masuk ke dalam perkampung kami, ikutilah alur air di depan kemudian naik kembali, kursi singgasana beserta kelengkapan lain telah menati tuan, lakukanlah menjelang tergelincir matahari siang, tuan Liem akan tetap menjadi juru kunci tuanku, karena dia yang tepat membuka dan menutup seluruh pintu-pintu kempung kami.” 

Bacaan Lainnya

Perjalanan  memasuki gua perkampungan yang diimpikan selama ini dimulai, Liem sebagai juru kunci selalu di depan, apapun bentuk batu yang diperkirakan Liem sebagai pintu masuk dapat dibuka dengan mudahnya, sungguh terperanglah keduanya setelah beberapa saat memasuki gua perkampungan itui, dilihatnya sebuah singgasana didepannya sebuah meja pualam yang bercahaya, di atasnya terlihat dua buah keris bersampul emas. Didekati singgasana dan kemudian Kaseng mendudukinya, seketika cahaya terangpun bagaikan terbentang di alam sebuah istana, dilihatnya kehidupan normal layaknya sebuah negeri yang berkembang pesat, datanglah sekelompok pengawal mengatakan.

“Paduka tuan, esok kami siap mendampingi dan meninjau laut lepas dan kita ambil kembali harta-harta kita yang pernah diambil orang-orang dari gudang kita.”

“Bailah! Persiapan segala sesuatu untuk perbekalan kita besok, demikian Kaseng menjawab ajakan para pengawal.”

Kini pelayaran siap dimulai. Kaseng dengan juru kuncinya memimpin pelayaran. Bertanyalah Kaseng dengan para pengawal.

“Apa tandanya bahwa  harta-harta yag akan kita ambil adalah milik kita sebelumnya.” Tanya Kaseng kepada para pengawalnya.

“Padaka tuan kami! Kami tahu mana harta miliki kita atau bukan, orang lain tak akan melihat kami dalam perjalan ini, mereka hanya melihat tuan berdua saja.

“Baiklah para pengawal,” jawab Kaseng tegas.

Tak berapa lama melintaslah perahu dengan syarat muatan. Para pengawal Kaseng langsung masuk ke kapal tersebut dan merampas segala harta benda milik kapal itu tanpa sepengatahuan banyak awak kapal.

Semua orang takut bila melihat parahu Kaseng melintas, kegiatan Kaseng inipun tidak lagi mengumpulkan harta dari kapal yang melintas  di depan gua itu tetapi sudah mulai diperluas ke kampung-kampung. Nama Kaseng sudah termasyur dan ditakuti baik dikalangan penduduk negeri sekitarnya maupun dikalangan sesama lanun, jika ada yang mangadakan perlawanan dalam aksinya, sekali cabut kerisnya berarti kematian musuhnya menanti. Kaseng menjadi lanun yang kejam dan menyeramkan.

Berita kehebatan Kaseng sang lanun sampai pula ke telinga Panglima Hitam, panglima asal Bone Sulawesi. Dalam pertemuan yang seru di laut, akhirnya Kaseng dapat dikalahkan oleh Panglima Hitam tersebut. Setelah Kaseng dapat dikalahkan, Panglima Hitam ingin pula untuk menguasai harta milik Kaseng yaang disimpan oleh juru kuncinya Liem, akan tetapi Panglima Hitam salah siasat, Liem sebagai juru kunci harta dibunuhnya, sehigga secuilpun harta Kaseng tidak bisa diambil oleh Panglima Hitam.

Sebelum Liem mati, ia pun bersumpah. 

“Demi penguasa dan penghuni gua Pelintung, tidak akan terbuka pintu gua ini selain dibuka oleh orang yang bersuku Liem, dan orang-orang yang setaraf ilmunya dengan Tuan Kaseng.”

Konon beberapa waktu berselang, ada penduduk setempat yang sengaja berusaha memasuki gua ini untuk mengambil harga milik Kaseng, namun penduduk tersebut tidak dapat keluar lagi dan akhirnya tinggal di dalam gua untuk selama-lamanya***

[Sumber: Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *