Dongeng “Burung Tang Tut”

Burung Tang Tut. Ilustrasi. (foto: int)

KONON, di sebuah kampung nelayan, hiduplah dua adik beradik yang saling mencintanya. Ia adalah Si Sulung dan Si Bungsu. Mereka mendiami sebuah pondok kecil di pinggir pantai. Lantainya terbuat dari papan dan bertiang tinggi, sedangkan atapnya terbuat dari rumbia.

Kedua orang tua mereka telah lama meninggal dunia. Setiap hari Si Sulung mencari ikan di laut dengan menggunakan sebuah perahu kecil. Ikan yang didapat sebagian dimakan dan sebagian lagi di jual untuk membeli beras dan keperluan lainnya. Saat Si Sulung mencari ikan di laut, Si Bungsu berada di rumah mengurus rumah, memasak dan berkebun.

Bacaan Lainnya

“Bungsu adikku, hari ini kakak hanya mendapat ikan sedikit, hanya cukup untuk kita makan. Bulan depan purnama dan ikan-ikan itu akan berada di tengah-tengah lautan. Kita akan kesulitan menangkapnya. Di tambah lagi gelombang laut sedang besar,” lirik Si Sulung kepada adiknya.

“Tak apalah kakak, ikan asin ku buat seminggu yang lalu masih banyak, masih cukup untuk persediaan minggu ini,” ujar Si Bungsu menguatkan hati kakaknya. Di hadapan mereka telah tersedia nasi yang hangat. Keduanya lalu makan dengan lahap.

“Kak saya ingin sekali ikut melaut,” kata Si Bungsu?

“Jangan-jangan… kau sebaiknya di rumah saja,” kata Si Sulung.

“Tapi pekerjaan saya sudah tidak banyak lagi kak. Sayuran yang di tanam sebulan yang lalu tinggal menunggu hasilnya saja,” kata Si Bungsu.

“Jangan, dek biarlah kakak sendiri yang pergi, sekarang gelombang laut sedang besar. Kakak tidak mau terjadi sesuatu pada dirimu.”

“Ah… kakak selalu mengangap aku anak kecil, kalau kita pergi berdua tentu hasil yang di dapat akan lebih banyak dan kita juga tentu akan dapat mengganti dinding pondok kita dengan papan.” Ujar Si Bungsu sambil menunjuk dinding pondok yang sudah semakin rusak.

“Benar, tapi kau tidak mengetahui bahayanya di sana nantinya. Kau masih ingat ayah dan ibu kita yang di telan keganasan ombak laut, dan kakak tidak mau itu menimpa dirimu,” cegah Si Sulung. Matanya berkaca-kaca, suaranya terdengar lirih seakan baru kemarin kejadian itu terjadi.

Ayahnya mati-matian berusah menyelamatkan ibunya, namun mereka berdua malah digulung ombak yang ganas.

“Sudah… sudah jangan diingat lagi.”

Kedua bersaudara itu sebentar-sebentar terdengar siulan si bungsu. Suara debur ombak dan canda mereka berbaur menjadi satu. Semakin lama mereka semakin melayu ke tengah lautan.

“Adikku, kau arahkan perahu kita ke tepi. Sekarang kita sudah terlalu jauh ke tengah. Kakak khawatir jika angin rebut tiba-tiba datang, kita tidak dapat menguasai perahu. Lihat, ada awan hitam di sana,” Si Sulung menunjuk ke atas.

Benar ada segumpal awan hitam mulai menutupi matahari yang tadinya bersinar terik dan angin pun mulai bertiup lebiuh kencang. Perahu juga mulai berguncang-guncang dan layar akhirnya koyak.

“Capat… gulung layar,” pinta Si Sulung.

Si Bungsu mulai panik. Ditariknya tali layar namun belum selesai menarik tali layar, tiba-tiba terdengar bunyi, “krak… krak.”

Tiang layar patah, air mulai merembes sedikit demi sedikit masuk ke dalam perahu.

“Cepat ambil tang dan catut di dalam kotak kita perbaiki layar ini” teriak si Sulung sambil mengemasi barang-barang yang ada di daiam perahu.

Si bungsu tangannya meraba raba kotak persediaan makanan. Bungkus nasi yang mereka bawa terasa basah, cepat-capat ia masukkannya ke ikat pinggang.

“Tidak ada kak, barang kali tertinggal di pondok,” kata si bungsu dengan suara cemas.

“Lebih baik kita menepi saja kak. Kita usahakan cepat sebelumperahu ini karam.”

Lalu keduanya berusaha menepikan perahu.

“Dek coba kau cari tang dan catut di dalam rumah, biar kakak berusaha menempel perahu bocor ini.”

“Sebaiknya kakak masuk dulu ke rumah, lebih baik besok saja kita perbaiki.”

“Sudahlah jangan terlalu banyak pertimbangan. Ambilkan tang dan catut, jangan dibiasakan menunda-nunda pekerjaan,” kata Si Sulung.

Si bungsu berlari naik ke pondok. Di carinya lagi sekeliling pondok namun yang di cari tetap tidak di temukan.

“Tidak ada kakak, cari di bawah tempat tidur,” ujar Si Sulung.

Si bungsu kembali naik ke pondok, dicarinya dengan teliti ternyata tang dan catut tersimpan di bawah gulungan tikar. Dengan cepat dia turun untuk menyerahkannya kepada Si Sulung.

Namun alangkah terkejutnya si Bungsu. Si Sulung telah lenyap bersama perahunya. Si bungsu sangat panik. Ia berteriak-teriak memanggil kakaknya. Badai semakin besar, pohon-pohon kelapa banyak yang tumbang.

“Kak ini tang dan catutnya,” teriak Si Bungsu.

Tetapi yang di panggil tidak menyahut. Si Sulung telah hanyut dibawa arus bersama perahunya yang sedang diperbaikinya.

Si Bungsu terduduk lemas di sebuah batu. Ia sangat sedih kakaknya telah pergi meninggalkan dirinya. Pondoknya pun kini telah roboh di terjang gelombang. Mulutnya tak henti-hentinya menyebut “tang… catut… tang… catut” hingga akhirnya ia pun tertidur.

Ketika bangun dari tidurnya, Si Bungsu mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor burung kecil yang berwarna hijau dengan paruh yang kekuning-kuningan. Ia lalu terbang sepanjang pantai tempat tinggalnya mencari sang kakak yang hilang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *