Asal Mula Pulau Kapal – Meranti

Pantai Pulau Rupat. Ilustrasi. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Ayahnya yang berdiri sejak semula, tidak sabar melihat perlakuan anaknya tersebut. 

“Engkau anak durhaka!” Bentak ayah Lamat.

Bacaan Lainnya

Dengan hati hancur, orang tua Lamat beranjak meninggalkan kapal. Sebelum pulang ke rumah, mereka berdiri sejenak di pelabuhan, melihat kapal Lamat dari jauh.

Sepeninggal orang tua Lamat, istrinya menegur Lamat.

“Wahai suamiku! Sesungguhnya engkau telah durhaka. Mengapa engkau memperlakukan orang tuamu demikian? Aku tidaklah akan malu mempunyai mertua seperti itu. Bahkan aku sangat bersyukur beliau masih hidup, mengapa engkau anaknya sendiri malu? Sungguh keterlaluan engkau suamiku!”

“Tidak Dinda! Kau jangan percaya begitu saja, orangtuaku tidak seburuk itu!” Bantah Lamat karena malu.

Lamat dan istrinya bertengkar, lalu ia memerintahkan anak buah kapal untuk mengangkat sauh dan pergi meninggalkan kampungnya itu. Ayah dan ibunya berdiri terpaku melihat kapal meninggalkan pelabuhab. Putus sudah harapan mereka untuk bertemu anaknya. 

Sejenak terbayang masa-masa kecil si Lamat. Mereka menyesal telah menyuruh si Lamat pergi menjual tongkat emas yang ditemukan anaknya itu. Seandainya tongkat itu dibiarkan saja di rumah atau dijual di negerinya, tentu keadaan tidak akan seperti itu. Tanpa sadar,  emak Lamat mengucapkan sesuatu, sumpah serapah untuk anaknya.

“Mudah-mudahan kapalmu tenggelam, wahai anakku!”

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, alam pun menampakkan sosoknya yang tidak bersahabat. Angin badai datang. Petir silih berganti muncul sambung menyambung. Awan hitam tebal memperkelam alam. Gelombang datang gulung-menggulung… Dan, seketika itu juga kapal Lamat digulung ombak yang sangat dahsyat. 

Setelah kapal Lamat tenggelam, tiba-tiba alam kembali cerah seperti sedia kala. Burung camar berteriak nyaring di langit biru. Nyiur melambai gemulai ditiup angin. Ombak mengelus lembut di bibir pantai. Bagai tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya di pelabuhan itu.

Orang tua Lamat segera berlari ke pantai, ia menemukan istri Lamat terbaring di pasir dan masih hidup. Sedangkan si Lamat, mayatnya pun tidak pernah ditemukan. 

Dari jauh ia melihat kapal Lamat tenggelam di laut dangkal. Ia menyesal telah mengutuk anaknya sendiri. Namun, apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur, penyesalan tidak lagi berarti. 

Ia lalu memeluk istri Lamat, dan segera membawanya pulang ke gubuknya. Dalam hati ia berjanji, akan merawat dan menyayangi istri Lamat seperti yang telah ia lakukan pada anaknya Lamat. 

Kapal Lamat lama-kelamaan tertimbun lumpur dan mengendap menjadi sebuah pulau. Inilah asal-usul Pulau Kapal. Sampai sekarang, di Belitung terdapat sebuah pulau yang dinamai Pulau Kapal***

[Cerita dikutip dari buku: Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *