Asal Mula Pulau Kapal – Meranti

Pantai Pulau Rupat. Ilustrasi. (foto: folklor.kosabudaya.id)

“Di manakah dia sekarang?” Tanya ayah dan ibu si Lamat. 

“Di bandar!” Jawab anak buah Lamat.

Bacaan Lainnya

“Mengapa tidak dikau ajak pula dia kemari?”

“Tak pantas, seorang saudagar kaya turun dari kapalnya. Apalagi kapal saudagar Lamat sangat mewah, semua orang menjadi takjub melihat kapal tersebut.”

“Bersama siapakah dia?” Tanya ibunya.

“Tuan Lamat bersama isterinya dan berpuluh-puluh anak buahnya yang melayani di kapal.”

“Oh… Anakku sudah punya isteri,” teriak  emaknya gembira. Emaknya kemudian membawakan makanan kesukaan anaknya itu. Kedua orang tua Lamat melangkah cepat-cepat karena ingin bertemu anak yang dirindukannya. 

Ketika sampai di pelabuhan, kedua orang tua itu benar-benar takjub melihat kapal yang sangat mewah. Mereka mencari-cari Lamat, bagaimanakah rupanya sekarang? Apakah semakin tampan? Apakah isterinya cantik? Demikian yang terlintas di benak kedua orang tuanya itu. Lamat dan isterinya sedang duduk santai di suatu ruang yang mewah. Mereka mengenakan pakaian indah bagaikan raja dan ratu. Tak lama kemudian pintu kamar di ketuk. Isteri Lamat bergegas membukanya.

“Tuan putri, inilah orang tua juragan Lamat,” kata anak buah kapal. 

Istri Lamat langsung memeluk mertuanya, ia tidak memperdulikan pakaian lusuh dan kumuh orang tua suaminya tersebut. Baginya, mertua sama artinya dengan orang tuanyanya sendiri. Setelah mempersilakan duduk, ia segera memanggil si Lamat suaminya.

 “Wahai suamiku, orang tuamu sudah datang. Sambutlah!” Kata wanita cantik itu dengan suara yang amat lembut.

Lamat bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ambang pintu. Melihat Lamat yang datang, kedua orang tua itu segera merangkul dan memeluknya. Namun, secara tiba-tiba Lamat mundur selangkah, lalu ia mendorong orang tuanya hingga jatuh terduduk.

“Pergilah! Kalian bukan orang tuaku!” Kata Lamat dengan muka merah padam.

“Suamiku! Apa yang terjadi, janganlah berkata begitu, bagaimanapun mereka adalah orang tuamu juga, yang melahirkanmu, menyusuimu, dan membesarkanmu!” Istrinya menasihati.

“Ia bukan orang tuaku,” kata Lamat lagi dengan suara yang lantang.

“Lamat, mengapa engkau menyuruh kami datang ke kapalmu jika hanya kau perlakukan kami seperti ini? Sungguh kami tak menyangka Lamat!” 

“Kalian hanya mengaku-ngaku orang tuaku,” suara Lamat kian  meninggi.

“Tidak, anakku. Aku ini emakmu,” ujar emaknya memelas.

“Aku tidak punya orang tua sejelek kalian!” Hardik Lamat lagi.

“Jangan berkata begitu, abang,” bujuk istrinya yang berdiri di belakang Lamat. “Akui sajalah bang, mereka orang tua kita,” lanjut istrinya.

“Tidak istriku, dia bukan orangtuaku,” timpal si Lamat dengan suara yang lebih tinggi lagi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *