Asal Mula Negeri Lipat Kain-Kampar

Kain berlipat-lipat kini menjadi batu di Negeri Lipat Kain.

“Percayalah anakku, ini emakmu!” Ujar perempuan itu berkali-kali, meyakinkan anaknya. 

“Mikin jangan kau lupa diri nak, karena telah menjadi kaya raya, aku adalah emakmu, tanyakanlah pada orang-orang kampung siapa aku sebenarnya!”

Bacaan Lainnya

“Tidak mungkin, aku tidak percaya, pergilah dari sini! Hei perempuan tua bangka,” kata Mikin. 

Orang-orang kampung yang melihat kejadian itu mulai menengahi dan membujuk emak Mikin untuk segera pulang. 

“Baiklah, kalau engkau memang tidak mengakui aku ini emakmu, tidak mengapa. Kudoakan agar engkau selamat di perjalanan,” kata emak Mikin dengan hati hampa.

Orang tua itu pulang dengan perasaan yang remuk redam dan hati luka yang pilu teramat sangat. Sesampai di rumah, emaknya lalu menunaikan sholat sunat, setelah selesai sholat ia pun berdoa.

“Ya Allah! Jika benar Mikin bukan anakku, maka selamatkanlah ia dalam perjalanan. Tapi jika ia adalah anak kandungku, yang lahir dari rahimku, yang dagingnya berasal dari air susuku, dan darahnya mengalir darahku, maka tunjukkanlah kepadanya kebesaran-Mu.”

Selesai berdoa demikian, beberapa saat kemudian, cuaca cerah di langit sungai Kampar berubah menjadi mendung, dan tak lama kemudian mega hitam menggumpal, dan gelap seperti malam. Disusul kemudian petir menggelegar, sambung menyambung. Permukaan sungai Kampar yang semula beriak kecil, kini seperti ombak di lautan luas yang maha dahsyat. 

Sadar apa yang akan terjadi, Mikin pun menyesal. Ia telah durhaka kepada emaknya sendiri, ia lalu memanggil emaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur, penyesalannya tidak berarti lagi. Sebuah gelombang besar berwarna gelap membumbung tinggi dan badai ganas menghantam badan kapal Mikin. Disusul kemudian gelombang yang besar dan tinggi menggulung kapal Mikin. Terus menerus seperti itu, lebih besar dan lebih tinggi lagi. Badai pun lebih mengganas, akhirnya kapal Mikin hancur berkeping-keping terhempas di batu cadas. 

Terdengar sayup-sayup suara  mikin memanggil emaknya. 

“Emaaaaaak! Emaaaaaak!” Suara Mikin tenggelam oleh suara badai dan gelombang besar. 

“Emaaaaaak! Ampunkan Mikin mak…!” jerit Mikin lebih keras lagi, tetapi suara itu tak ada artinya dengan badai yang menerpa.

“Mikin telah menyakiti hati emak, Mikin telah berdoa kepada emak,” dan akhirnya suara itu hilang tak terdengar lagi.

Mikin dan istri serta anak buahnya yang berjumlah puluhan orang hilang ditelan badai. Kejadian itu begitu tiba-tiba, sehingga Mikin tidak sempat lagi meminta maaf ke­pada emaknya. Mikin telah menjadi anak durhaka.

Keesokan harinya, orang-orang kampung menemukan batu yang bersusun seperti lipatan kain. Diduga bahwa susunan batu itu adalah pakaian Mikin dan istrinya yang berubah menjadi batu. Susunan batu yang seper­ti susunan kain itu, ditemukan di muara Sungai Sitingkai yang bermuara di Sungai Kampar. 

Konon nama kampung Lipat Kain yang kini dikenal dengan kota Lipat Kain di diambil dari nama batu yang bersusun seperti kain yang ditemukan di tepi Sungai Subayang Kecamatan Kampar Kiri tersebut***

Sumber:
Cerita dikutip dari buku: Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *