Asal Mula Negeri Lipat Kain-Kampar

Kain berlipat-lipat kini menjadi batu di Negeri Lipat Kain.

Elang lalu berusaha hinggap di atas kapal, lalu masuk keburitan. Sesampai di dalam kapal elang bertanya kepada salah seorang anak buah Mikin, dan pada akhirnya elang itu tahu, pemilik kapal itu adalah Mikin beserta istrinya yang cantik.

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara elang menyampaikan berita. Pada saat sang elang menyampaikan berita kedatangan Mikin tersebut, emak Mikin sedang terbaring lemah di dalam gubuknya. Pada mulanya emak Mikin tidak percaya. Dengan bertongkat rotan emak Mikin bertanya kepada elang.

Bacaan Lainnya

“Hai elang! benarkah berita itu?” Dengan tidak ada kesabaran lagi emak Mikin pergi ke sungai. Ia pura-pura mencari ikan menunggu kedatangan kapal Mikin di pinggir sungai Kampar itu. Sayup-sayup suara kapal menderu kian lama kian jelas. Berita kedatangan Mikin pun sampai ke telinga orang sekampung. Orang-orang kampung Mikin pun berebut melihat ke arah hilir sungai. Mereka kagum, tidak disangka-sangka Mikin yang dulu kumal saat ini kaya raya mempunyai banyak kapal besar.  

Emak Mikin juga sampai menangis karena amat gembira. Anak satu-satunya yang sangat dirindukan kini kembali. Tidak sia-sia rasa penantian selama ini, sekarang tentu akan berkumpul, bahagia pasti akan datang, pikir emak Mikin. 

Beberapa kali emak tua renta itu mengusap matanya, seakan tak percaya melihat  betapa besar kapal yang berlayar menuju tempatnya berdiri. Kapal Mikin sudah mendekat, orang-orang kampung memberi jalan kepada emak Mikin, agar Mikin segera melihat emaknya.  Setelah kapal merapat ke dermaga, keluarlah anak buah Mikin. 

 “Di mana anak saya Mikin?” Tanya emak mikin.

Anak buah kapal memberitahu majikannya, bahwa ada orang tua bangka berpakain lusuh menanyakannya. Mikin dan istrinya pun keluar dan melihat perempuan tua itu. Dalam hatinya ia ingat dan sadar bahwa yang ada di hadapannya adalah emaknya yang sudah lama ditinggalkannya. Tetapi sifat angkuhnya datang dan lupa semua hal yang telah silam.

Orang tua itu pun memanggil.

“Mikin anakku, turunlah nak emak sudah rindu nak.”

Mikin pura-pura terkejut melihat perempuan tua bangka yang begitu kumal yang ada di depannya. Ia lalu memalingkan muka. Mikin malu sekali kepada istri dan anak buahnya.

“Hey orang tua, siapakah engkau. Jangan mengaku-ngaku emakku. Orang tua saya sudah lama meninggal.”

Namun emak Mikin tak menghiraukan kata-kata itu, ia berteriak lagi.

“Anakku Mikin! Turunlah emak sangat rindu.” 

 “Hai perempuan tua bangka, siapa engkau sebenarnya?” Ujar Mikin dengan suara lantang, ia mulai merasa kesal. 

“Ini emakmu Nak, aku yang melahirkanmu, menyusuimu hingga besar, mengapa kamu hendak melupakan Emak,” jawab Emak Mikin.

“Dasar perempuan penipu, enak saja engkau mengakuiku sebagai anakmu,” Karena kesombongannya Mikin pura-pura tidak percaya.

kata Mikin kasar, Mikin menjauh dari perempuan tua itu.  Orang-orang kampung yang melihat peristiwa itu dan mendengar perkataan Mikin seakan tidak pecaya. Mikin yang dulunya baik, lembut, penyayang, dan patuh kepada orang tuanya kini menjadi anak yang tidak tahu diuntung, tak ingat diri, bagai kacang lupa kulitnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *