Asal Mula Negeri Lipat Kain-Kampar

Kain berlipat-lipat kini menjadi batu di Negeri Lipat Kain.

PADA ZAMAN dahulu kala, hiduplah seorang janda dengan seorang anaknya di sebuah perkampungan terpencil. Suaminya telah lama meninggal ketika anaknya masih kecil. Anak tersebut digelar Mikin yang berarti si Miskin. Karena memang mereka hidup dalam kemiskinan. Mikin, meski kehidupannya serba kekurangan tapi ia terkenal anak yang sangat baik dan cerdas, sehingga disukai teman-temannya.

Di kampung Mikin mengalir sebuah sungai, namanya Sungai Kampar Kiri. Rumah Mikin pun tak jauh dari sungai itu. Dengan demikian mereka mudah mendapatkan air. Rumah Mikin berbentuk panggung terbuat dari kayu beratap rumbia. 

Bacaan Lainnya

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mikin dan emaknya berladang. Mereka menanam padi dan jagung. Ladang mereka tidaklah luas, hanya dua kali lebih besar dari pondok mereka. 

Karena hasil ladang tidak mencukupi, mereka mencari penghasilan lain dengan menangkap ikan di sungai dengan peralatan seadanya. Jika mendapatkan ikan mereka jual. Ada yang laku, ada pula yang tidak laku. Yang tak laku terjual mereka jadikan sebagai lauk-pauk mereka.

Mikin juga seorang anak yang rajin. Ia selalu membantu emaknya, tidak pernah mengeluh. Ia juga anak yang sangat sabar dan selalu berdoa agar kelak nasibnya berubah. Hal itu yang membuat emaknya sedih. Emak Mikin sering menangis dan terkadang putus asa. Emak Mikin terkadang juga menyesali nasibnya kenapa ayah Mikin terlalu cepat pergi. Jika suaminya masih ada, tentu keadaan hidupnya tidak akan seperti ini. Dan Mikin bisa bermain bersama teman-temannya. Tidak seperti sekarang yang sehari-hari bekerja membanting tulang di ladang, pikir emak Mikin. Tapi jika sudah demikian, dibuangnya jauh-jauh pikiran itu. Tak elok menyesali yang sudah terjadi, kata emak Mikin pula di ujung lamunannya.

Bagi si Mikin, bekerja sepanjang hari tidaklah menjadi halangan untuk belajar. Malam hari Mikin belajar mengaji walaupun siangnya sudah lelah bekerja. Ketika belajar mengaji ia belajar dengan sungguh-sungguh. Tidak heran jika Mikin menjadi anak yang patuh, cepat mengerti dibanding teman-temannya. Guru mengaji Mikin juga sangat menyayangi Mikin. Tak hanya mengaji tapi juga diajarinya ilmu-ilmu lain untuk bekal di kemudian hari.

Setelah Mikin mulai menginjak usia dewasa, terniat dalam hatinya untuk mengadu nasib ke negeri orang. Keinginannya sangat besar untuk menambah pengalaman. Mudah-mudahan nasibnya dapat berubah di kemudian hari.

Suatu hari, Mikin menyampaikan niat tersebut pada emaknya. 

“Emak…! Sungguh berat hati Mikin menyampaikan masalah ini,” kata Mikin. Ia menarik napas panjang, terasa berat untuk disampaikan pada emaknya.

“Tapi Mikin sudah berteguh hati untuk mengadu nasib ke negeri orang, Mikin minta izin emak!” Ujar Mikin kemudian.

“Anakku Mikin, kau adalah satu-satunya anak emak. Engkau adalah penghibur di kala duka, penolong di waktu susah,” emak Mikin berhenti sejenak, menahan gejolak hatinya.

“Jika engkau pergi, siapa lagi yang akan menemani emakmu yang sudah tua renta ini?” Lanjutnya lagi. 

“Emak! Mikin tahu pasti emak akan sedih dan risau, tapi Mikin pergi taklah terlalu lama, Mikin akan selalu berkirim kabar ke emak. Suatu hari nanti Mikin akan pulang, mempersembahkan kebahagiaan pada emak,” jelas Mikin menyakinkan emaknya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *