Asal Mula Burung Punai – Pelalawan

Burung Punai. Ilustrasi (foto: wikipedia)

DAHULU kala, di pinggir sungai kecil yang airnya bening dan sejuk. Tinggallah sepasang suami isteri dengan seorang anak laki-lakinya bernama Atan. Kehidupan mereka sangat miskin. Tapi mereka tidak pernah putus asa, setiap hari mereka selalu bekerja dan berusaha, agar suatu saat nanti kehidupan mereka bisa lebih baik.

Apalagi si buah hati yang mereka cintai, pelipur lara di kala duka, tertawa di kala suka, tumpuan di masa depan, sedang kuat-kuatnya makan. Mereka tidak menginginkan anaknya tetap miskin seperti kehidupan sekarang, ia berharap kelak sang anak dapat menjadi manusia yang baik, saleh, dan berbakti.

Bacaan Lainnya

Demikianlah, setiap hari orang tua Atan bekerja keras. Ayahnya rajin pergi ke ladang atau menangkap ikan. Hasilnya dijual di Kampung Bunut Panduk, Langgam, Nilo, dan Kemang. Letak kampung ini sangat jauh dari Pelalawan. Untuk mencapai tiap-tiap kampung itu, ia harus berjalan berhari-hari lamanya sambil memikul dan menjinjing beban bawaannya. Namun, ia tak pernah mengeluh ataupun merasa lelah demi membahagiakan anaknya.

Setiap pulang dari berdagang dan setiap sampai di rumah, ia melihat sang anak yang sedang tertawa, tumbuhlah segala asa dan sirnalah segala lelah. Dari hasil berdagang, uang yang diperolehnya ditabung sedikit demi sedikit. Mereka hidup hemat. Makan dan pakaian seperlunya saja.

Ayah dan emak Atan selalu berdoa agar badannya tetap sehat, dan dapat pula menambah rezeki untuk anaknya. Di samping itu, Atan semakin meningkat besar. Badan¬nya sehat, lincah, dan riang. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia.

Suatu hari ayah Atan mengajaknya berbual.

“Nak! Kemari nak!” Panggil sang ayah dengan lembut, sambil melambaikan tangannya ke arah Atan.

“Ada apa Yah?” Tanya Atan. Ia mendekati ayahnya lalu duduk di pangkuan ayahnya.

“Nak, kami ingin melihat engkau pandai mengaji dan belajar ilmu agama, untuk bekal di masa depan,” jelas sang ayah. Tangannya tak henti membelai rambut sang anak, si buah hati.

“Karena itu, mulai besok engkau mulai belajar di surai,” kata sang ayah.

“Baik Ayah!” Jawab Atan.

“Apabila dikau dah mengaji, janganlah engkau nakal ya nak dan belajar dengan baik,” nasihatnya kepada Atan.

“Iya Ayah, Atan akan belajar dengan baik,” kata Atan.

Sejak saat itu Atan pun diserahkan ke sebuah surau yang ada di kampung itu untuk belajar mengaji. Awalnya Atan sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Apabila air banjir Atan diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang emaknya pula yang menjemput Atan.

Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut semua anak-anak gemar bermain gasing. Pada umumnya orang tua merasa kesal apabila musim bergasing tiba. Kini musim bergasing itu tiba. Atan asyik bermain ga¬sing sejak pagi sampai petang. Orang tuanya amat resah karena Atan telah lupa pergi ke surau belajar mengaji. Telah lama ia tidak pergi ke surau.

Guru mengaji telah berkali-kali datang ke rumahnya menanyakan keadaan Atan. Hati emaknya bertambah kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu. Pada suatu hari ketika Atan pulang dari bermain gasing, emaknya tak sanggup lagi menahan amarahnya.

“Sudah berapa lama engkau tidak me¬ngaji ke surau karena asyik bermain gasing saja. Engkau melupakan segala-galanya!” Kata emaknya.

“Kesudahannya engkau aku beri makan gasing saja!” Sambung emaknya lagi.
Mendengar omelan emaknya itu Atan diam saja.

Kemudian ayahnya berkata pula.

“Tan, ayah lihat engkau asyik bergasing saja. Sudah lupa engkau dengan makan minum, apalagi mengaji. Sejak bergasing engkau tak pernah lagi menolong emakmu. Apa engkau bisa kenyang makan gasing?”

Mendengar perkataan ayahnya, Atan cuma diam saja, seolah-olah menyimak omelan orang tuanya. Namun, apabila ayahnya pergi dari rumah, ia beranjak pula pergi bermain gasing. Begitulah kelakuannya, terus menerus dilakukannya. Pendeknya Atan sudah lupa segalanya karena asyik bermain gasing, seperti kena hantu gasing. Orang Pelalawan mengatakan kalau anak sudah kena hantu gasing tak dapat bekerja apa pun.

Pada suatu hari Atan pergi bermain gasing, sorenya Atan tidak pulang. Besoknya ia tetap tidak pulang ke rumah. Sekali waktu ada juga Atan pulang, tetapi ketika orang tuanya sudah tidak berada di rumah. Atan makan apa yang ada di rumahnya. Ayahnya pun tidak peduli dan tidak mau pula mencarinya di mana ia berada.

Pada suatu malam ayah Atan berkata kepada isterinya.

“Memanjakan anak tak boleh berkelebihan. Lihatlah si Atan dimanja terus. Makin menjadi-jadilah nakalnya. Oleh sebab itu, sejak sekarang biarkan saja, tak usah kita hiraukan.”

Oleh karena orang tuanya tidak memperdulikannya, kenakalan Atan semakin menjadi-jadi. Ia semakin jarang pulang ke rumah, pergi ke surau tak pernah lagi. Hati orang tuanya se¬makin kesal dan jengkel. Nasi untuk Atan tak pernah disediakan jika kedua orang tuanya pergi ke ladang.

Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, dimasaknya tali gasingnya dibuatnya gulai, kemudian barulah kedunya pergi ke ladang. Melihat kedua orangtuanya pergi ke ladang, Atan pun pulang mengendap-endap, agar tidak diketahui orang tuanya. Perutnya sangat lapar ia ingin makan. Pintu ramahnya terkunci namun ia tak kehabisan akal. Ia naik dari jendela. Karena lapar dibukanya periuk terlihat gasing, di buka belanga terlihat tali gasing. Karena itu menangislah ia sambil beryanyi berpantun:

Sing! Tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya aku gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah aku hendaknya
Makan buah kayu ara.

Selesai bernyanyi seperti itu tumbuh bulu sehelai di badannya. Ia terus juga bernyanyi dan tumbuh pula bulu sehelai lagi. Begitu seterusnya. Karena lama kelamaan bernyanyi, maka ratalah seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu. Kini ia telah menjelma menjadi seekor burung Punai. Ia pun terbang ke arah jendela ia terbang ke bumbung atap, kemudian barulah ia terbang tinggi ke udara. Dari udara terlihatlah olehnya ladang orang tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang dan hinggap pada sepohon kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat emak dan ayahnya sedang asyik menyiang rumput, ia pun bernyanyi:

Sing! Tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai saya kini
Makan buah kayu ara.

Mendengar nyanyian burung yang pandai bicara itu maka berkatalah emaknya,

“Ei, coba awak dengar! Kalau tidak salah. Seperti suara anak kita, Atan.”

“Mana pula, coba dengar baik-baik kata ayahnya.”

Mereka mendengar secara seksama suara nyanyian dari burung punai itu.

Sing! Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai saya kini
makan buah kayu ara.

“Iya,” kata ayahnya sambil mendengar dengan seksama.

“Itu memang suara anak kita,” lanjutnya memastikan.

Maka berteriaklah emaknya memanggil si Atan.

“Nak. kemarilah! Ini nasi…” teriak emaknya.

“Tidak… Saya sudah menjadi burung. Makan buah kayu ara,” kata anaknya yang telah menjadi bu¬rung punai itu.

Setelah berkata begitu ia terus mematuk buah kayu ara dari dahan satu ke dahan yang lain. Ayahnya merasa kasihan melihat nasib anaknya itu. Mengambil parang dan memotong dahan kayu ara tempat burung Punai itu hinggap. Ketika batang kayu yang ditebang putus, maka burung punai itu pun terbang ke dahan yang lain. Kemudian ia menyanyi lagi:

Sing! Tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai saya kini
Makan buah kayu ara.

“Marilah Nak, mari! Ini ada ibu bawakan nasi, Nak,” kata emaknya sedih.

“Tidak. Saya sudah menjadi Punai, makan buah kayu ara,” kata Punai itu.

Ditebang oleh ayahnya kayu ara tempat punai itu hinggap. Pohon itu pun tumbang. Punai itu terbang ke kayu yang lain. Demikian seterusnya dan akhirnya lama kelamaan kedua orang tua itu sudah jauh meninggalkan ladangnya. Perbekalan sudah habis, sedang jalan pulang sudah tidak tahu lagi. Oleh karena terlalu sayang kepada anaknya, maka kedua orang tua tadi meninggal dalam hutan itu.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *