Asal Mula Negeri Naga Beralih-Kampar

Rumah Lontiok Kampar

“Adin…Antang… tolong carikan aku air. Aku haus… Adiin… Antaang… carikan aku air.. aku tak tahan hausnya!”

Alangkah terkejutnya Adin dan Antang melihat keadaan Adan yang seperti orang kesurupan itu. Perutnya menjadi demikian besar dan telah biang, keadaan seperti hendak meletus. Matanya terbelalak, air matanya meleleh, seraya melambaikan tangan minta air.

Bacaan Lainnya

“Beri aku air, diik air… mana aiiir?”

Adin dan Antang merasa sangat bingung dan tak tahu apa yang akan diperbuat. “Air… air… apa kalian tidak mau memberi aku air?”

Mendengar desakan kakaknya itu, terpaksalah Adin mencari air, sambil berpesan kepada Antang agar mau menunggu kakaknya yang mulai berubah bentuk itu.

Sepulangnya Adin mencari air, lalu air itu sebagian diberikan kepada Adan, ia sangat cemas melihat perut kakaknya yang sangat besar.

Setelah meneguk habis air itu Adan minta air lagi. Berkepanjangan…

Antang datang berbisik kepada Adin, “jangan diperturutkan Adin, kalau diberikan juga air, nanti perutnya bisa meletus, buruk padahannya,” Adin mengangguk, tanda paham akan maksud temannya.

Tak lama kemudian, Adin mendekati Antang, lalu mereka kelihatan berbisik-bisik. Sejenak Adin mendekat ke arah abangnya yang sedang terbaring lemah di tanah.

“Bang Adan, kami mau memberi abang air, tapi karena tempatnya jauh dari sini, nun di sungai sana, marilah kita ke sana. Abang dapat minum dengan sepuas-puasnya!”

Mendengar bujukan adiknya dan karena sangat mengharapkan air maka Adan mengangguk-angguk tanda setuju.

Dengan susah payah Adin dan Antang membawa Adan menuju kampung. Setibanya dekat sebuah sungai jalan yang dihadapinya untuk pulang, sekonyong-konyong Adan meronta-ronta sambil berteriak-teriak minta air. Karena kuatnya Adan, terlepaslah pegangan Adin dan Antang. Adan merangkak-rangkak menuju sungai, sesampai di sungai, Adan menghirup air sepuas-puasnya.

Adin dan Antang merasa khawatir melihat tingkah Adan. Tubuhnya tampak semakin panjang dan seakan-akan tumbuh sisik pada kulitnya. Matanya semakin merah, lidahnya terjulur keluar.

Hari kian petang. Oleh karena takut kemalaman di jalan, maka Adin mengajak kakaknya pulang. Tapi Adan tidak mau, tidak hendak beranjak dari tepi sungai.

Adin mengajak Antang berunding di atas tebing sungai.

“Apa akal kita! Hari telah senja dan perjalanan masih jauh. Bagaimana caranya kita membawanya pulang?”

“Sebaiknya abang Adan kita bawa pulang, biar kita obati di kampung nanti, tapi sanggupkah kita menggendongnya? perutnya semakin besar. Kalau diseret, tentu dia akan kesakitan. Kita khawatir kalau-kalau perutnya pecah nanti,” tutur Adin

“Jadi bagaimana baiknya, Din?” tanya Antang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *