Asal Mula Negeri Naga Beralih-Kampar

Rumah Lontiok Kampar

“Wahai Emak, janganlah Kami ditinggalkan, serasa tak sanggup menghadapi kepahitan hidup ini.”

“Wahai anakku, janganlah kalian berputus asa dengan rahmat Allah dan jangan sekali-kali engkau lupakan. Kalian harus tolong-menolong, bersatu, seuntung serugi, sesakit sesenang, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Janganlah terjadi sebaliknya, mementingkan diri sendiri, loba, saling mencurigai, menohok kawan seiring dan sifat buruk lainnya.”

Bacaan Lainnya

Oleh karena terlalu banyak bicara, sedang tenaga sirna, keletihan membuat si emak menjadi pingsan. Tak lama kemudian meninggal pulalah emaknya.

Menghadapi kematian demikian, Adan dan Adin merasa ditimpa musibah yang dahsyat. Belumlah hilang duka bapak sekarang datang pula duka emak. Sedih yang sangat mendalam. Hal ini menyebabkan mereka lemah lunglai tidak bersemangat untuk bekerja.

Akan tetapi oleh karena didesak hidup, dan yang akan dimakan tak ada lagi, mau tak mau mereka harus berusaha mencari makan. Beberapa hari sepeninggal emaknya, Adan dan Adin beserta anak tetangganya bernama Antang pergi ke hutan untuk melanjutkan kerja mendiang ayahnya, mencari rotan.

Tapi entah apa sebabnya, pada masa-masa terakhir keadaan pada diri Adan mulai berubah. Ia sudah mulai tidak peduli akan adik dan temannya. Adan mulai bertindak sendiri, tak hendak bermusyawarah.

Adiknya, Adin, yang menyadari perubahan pada diri abangnya itu. Ia merasa heran dan mengingat-ingatkan pesan emak mereka, namun saudaranya itu tidak mau peduli.

Suatu hari sebagai mana biasa, saat sedang asyik mencari rotan, Adan menemukan sebutir telur yang besar. Oleh karena lapar bercampur heran, suka, dan gembira, Adan berteriak, “hai Adin, hai Antang, mari kemari! Lihatlah, aku dapat rezeki yang tak diduga-duga!”

Setelah berkali-kali memanggil, datanglah Adin dan Antang ke dekat Adan. Adan mengangkat telur yang besar itu dengan kedua belah tangannya, seraya berkata, “aku dapat telur yang besar ni. Mungkin telur gajah atau burung garuda.”

“Mana mungkin gajah ada bertelur,” tukas Antang.

“Mungkin itu telur naga atau burung Garuda!” Kata Adin pula.

“Aku tidak peduli, telur apapun namanya, yang jelas ini hak aku dan pasti telur ini enak dimakan,” kata Adan yang bernafsu hendak memakan telur itu.

“Jangan Bang! Jangan dimakan telur itu, barangkali beracun, mana kita tahu!” tegur adiknya.

“Lebih baik kita bawa saja telur ini pulang, nanti kita tanyakan kepada orang tua-tua, apakah boleh dimakan atau tidak,” kata Antang.

“Kalian ini ada-ada saja! Sedang telur baniong (penyu) dimakan orang. Tentu telur ini baik dan dapat mendatangkan kekuatan untuk badan. Jika kalian tidak mau, biar aku sendiri yang memakannya, karena akulah yang menemukannya,” jawab Adan, seraya memecahkan dan langsung menghirup telur itu.

“Alamak, enaknya telur ini. Ha…ha…ha… terdengarlah tawa terbahak-bahak Adan yang sedang melahap telur itu, dan bersendawa, “uaaaak…”

Sejurus kemudian setelah Adan memakan telur besar itu, terbitlah rasa hausnya yang bukan kepalang. Adan meminum air yang ada di cangkirnya, masih juga haus, kemudian dia minum air secerek, air di cerek itu pun habis, kemudian dia mencari takar diperolehnya takar dan meminumnya sampai habis. Hausnya belum juga hilang, malahan semakin menjadi-jadi. Maka ia pun meminum air apa saja yang ada di sekitarnya, namun hausnya tak kunjung hilang. Oleh karena itu, dipotongnya beberapa rotan seraya meminum air rotan itu, namun tidak juga pupus hausnya. Kemudian Adan berseru-seru:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *