Asal Mula Nama Bengkalis-Bengkalis

Konon! Saat Pulau Bengkalis belumlah bernama Pulau Bangkalis, negeri tersebut mulanya sebuah pulau yang hanya dihuni oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian penduduk di pulau tersebut sebagai nelayan. Karena penduduknya yang masih sangat sedikit itu, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya saling berjauhan, pulau itu terasa sunyi, apalagi jika malam menjelang.

Rumah penduduk hanya beratap rumbia, berdinding pelepah rumbia dan berlantai tanah. Jika angin laut berhembus, atap rumah menyibak keresak-keresik mengeluarkan suara, kayunya berderat-derit. Penerangan yang ada hanya pelita, lampu yang terbuat dari bambu yang diberi sumbu. Dari kejauhan sinar redup pelita di rumah penduduk bagaikan kunang-kunang yang merayap dalam malam kelam.

Bacaan Lainnya

Di antara beberapa keluarga di negeri itu ditunjuk Pak Tuo sebagai orang yang dituakan. Pak Tuo, juga seorang nelayan seperti umumnya penduduk kampung.

Suatu hari Pak Tuo diserang deman, badannya menggigil dingin. Istrinya pun melarang Pak Tuo untuk pergi melaut.

“Tak usahlah abang pergi, tak elok dipaksakan juga. Jika abang tidak melaut hari ini, insya Allah dapur kita masih berasap,” nasihat istri Pak Tuo khawatir.

 “Taklah Bu, aku tak mengapa-mengapa. Hanya sedikit tak enak badan. Tubuh ini tak bolehlah terlalu dimanja, siapa sangka angin laut dapat mengusir penyakit dari tubuhku,” ujar Pak Tuo menenangkan istrinya.

 “Yolah orang tua ni. Susah betul nak dikasi tahu. Terserah abang sajalah. Kalau sakit, tanggunglah sendiri,” ujar istri Pak Tuo kesal nasihatnya tak didengar.

Pak Tuo hanya tersenyum mendengar kata istrinya. Tak biasanya istrinya melarang dia untuk melaut. Ada was-was juga di hati Pak Tuo, apakah itu petanda sesuatu. Tapi cepat dia tepis segala perasaan yang tidak mengenakkan hatinya. Ia menguasai diri dan menyerahkan diri pada Allah. Dia sudah terniat dari siang tadi bahwa malam ini dia harus melaut. Angin laut seakan-akan terus memanggil dirinya.

***

Nun jauh di Selat Malaka, di suatu sisi kehidupan yang lain. Bersiap-siaplah seekor ikan hiu muda hendak merantau, mencari pengalaman ke negeri lain. Dari pada di bawah ketiak emak tiap hari, lebih baik cari pengalaman hidup lah aku, pikir hiu muda.  Sang hiu yang beranjak remaja itu, mohon diri kepada emaknya. Dia hendak berjalan-jalan ke sebuah selat.

“Mak! aku rasa, badanku sudah semakin tegap. Tubuhku pun sudah semakin gagah. Sudah bertahun-tahun kita di selat ini. Ada niatku mencari punggung yang bertutup, mencarikan perut yang tak berisi, dan siapa sangka juga aku menemukan pendamping hidupku, yang memberi harapan di kala duka, mengingatkan di kala suka. Aku nak mencoba mengadu nasib di selat lain, lubuk lain mak!” ujar hiu muda.

“Kenapa nak! Dah bosankah dikau hidup di negeri kita ini, sejak bapak kau pergi entah ke mana, ke lubuk dalam tidak terjejak ke beting luas tidak terukur. Dikaulah satu-satunya tumpuan harapan emak, dan kini dikau pula nak pergi,” ucap emak hiu dengan sedih, air matanya mulai tampak menggenang di pelupuk matanya.

Sejak saat itu emak hiu sering melamun. Nafsu makannya mulai berkurang, namun terkadang terpikirkan juga olehnya, tentang apa yang dikatakan anaknya itu ada benarnya juga. Manalah tahu kelak nasibnya bisa berubah. Bukankah hidup ini seperti roda yang berputar? Kadang di atas, kadang bisa juga di bawah.

“Sedih hati emak melepas dikau seorang diri Nak. Selama ini emak selalu memanjakan dikau. Sakit sedikit emak sudah khawatir. Jika lapar emak suapkan, jika haus emak beri minuman. Jika engkau seorang diri siapa yang akan melindungi dikau?” Kata emak hiu melanjutkan pembicaraanya pada waktu yang lalu.

“Tapi bagaimanalah, Mak?” Kata hiu muda mendesak. Suaranya tercekat, hening sejenak.

“Kalau begini terus hidup kita tak juga bisa berubah,” lanjut hiu muda lagi.

Akhirnya mereka terdiam, kedua anak beranak itu hanyat terbawa pikirannya masing-masing. 

“Kalau itu maumu, apa hendak dikata,” ujar emak hiu akhirnya. Suasana hening sejenak. Hiu muda melihat wajah emaknya sekilas. Dia melihat guratan kesedihan yang dalam di sana. Namuan hati hiu muda tak lah luluh. Tekadnya sudah bulat.

“Tapi ingat pesan mak, jaga diri baik-baik. Ayam jantan di kampung sendiri, ayam betina di kampung orang,” ibunya menasihati.

 Keesokan harinya dengan restu ibunya, maka berangkatlah hiu muda ke sebuah selat yang baru, selat Bangka namanya.

***

Di sebuah negeri lain, nun di ceruk di sudut sana, seekor ikan bilis sudah dua hari ini sering melamun. Badannya kian kurus, kepalanya tambah besar dari badan, selera makannya hilang sama sekali. Biasanya, setiap ia menyantap makanan apapun yang dihidangkan emaknya, ikan bilis selalu berselera. Digoreng, dipindang, dibakar atau apapun nama masakan itu, asalkan emaknya yang memasak akan disantap tak bersisa.

Melihat tingkah anaknya yang lain dari biasanya, bertanya emak ikan bilis pada anak satu-satunya tersebut.

Jauhlah jauh nak si Ujungbatu
Anak Sakai memancing ikan
Kalaulah boleh Nak emak tahu
Apa gerangan yang dikau pikirkan

Mendengar emaknya bertanya tiba-tiba, ikan bilis kian cemberut. Ia tidak segera menjawab pertanyan emaknya. Malah ia pergi ke biliknya. Mengunci pintu dari dalam dan tidak keluar-keluar lagi.

Melihat hal itu, emak ikan bilis tambah tak paham. Ia ketuk-ketuk pintu bilik Bilis, tapi tak disahut anaknya. Akhirnya ia tinggalkan anaknya sendiri di biliknya. Emaknya pergi ke dapur sambil melete, menggerutu sendiri, “Ntah apalah anak ni kiranya, nak berbini agaknya.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar