Si Lancang, Asal Mula Burung Pergam – Inderagiri Hulu

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

PADA zaman dahulu kala di sebuah kampung tinggallah seorang ibu dengan anak lelakinya yang bernama si Lancang. Bapak si Lancang meninggal dunia ketika ia masih kecil. Mereka berdua hidup dalam keadaan miskin.

Ibu si Lancang bekerja sebagai orang upahan. Ia mengambil upah menumbuk padi di rumah dari satu rumah ke rumah yang lain untuk menumbuk padi. Upah menumbuk padi itulah yang menjadi sumber nafkahnya dan selalu tidak mencukupi.

Bacaan Lainnya

Setiap ia selesai menumbuk padi di rumah orang, dikumpulnya dedak-dedak padi sisa, dibawanya pulang. Dedak itu dibuatnya lempeng. Itulah makanan mereka berdua beranak.

Kalau kebetulan ada orang kampung yang memberi sedekah tebu seruas, atau pulut sepinggan, maka ibu si Lancang tetap membawa sedekah itu pulang ke rumah. Tebu seruas untuk si Lancang, sepahnya buat si ibu. Pulut sepinggan untuk si Lancang, remah-remahnya buat si ibu. Begitulah sayangnya ibu si Lancang itu kepada anaknya yang tunggal itu.

Pada suatu hari setelah si Lancang dewasa, ia berkata kepada ibunya, “Ibu izinkanlah saya pergi merantau!”

“Kemana engkau hendak merantau?” Tanya ibunya.

“Belum tahu aku kemana tujuan perantauan itu,” jawab si Lancang.

“Tapi tolonglah ibu, izinkanlah aku pergi merantau”.

Karena kerasnya ia mendesak ibunya, ia pun mendapat izin dari ibunya untuk pergi merantau. Akan tetapi mereka tidak berharta, jadi apalah yang akan dijadikan bekal si Lancang merantau. Ketika hendak berangkat meninggalkan kampung halaman, si ibu hanyalah dapat membekali anaknya dengan lempeng dedak saja dan tentulah dengan doa restu.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tak ada sedikitpun kabar si Lancang di perantauan. Entah untung batu yang didapatnya, entah untung sabut kata pepatah lama. Kalau untung batu tenggelamlah dia, kalau untung sabut timbullah.

Hari berganti hari pula, demikian pula bulan, begitu pula tahun. Belum juga ada kabar dari si LanĀ­cang. Entah masih hidup, entah sudah mati. Tinggallah ibu si Lancang seorang diri bersedih hati mengenangĀ­kan nasib dan anaknya. Pekerjaannya mengambil upah menumbuk padi diteruskannya juga. Akan tetapi kalau dulu lempeng dedak dimakan berdua, kini seorang diri ibu si Lancang menghadapi makanan itu. Hampir tak dapat ditelannya lempeng dedak itu kalau ia teringat kepada anaknya.

“Entah di mana engkau sekarang, Lancang?” pikir ibu si Lancang menahan sedih seperti retak rasa hatinya, seperti hendak terbelah rasa dadanya.

***

Akan halnya nasib si Lancang di perantauan, anak dagang ini memperoleh nasib baik. Ia mendapatkan majikan yang menjadi saudagar kaya. Ia sadar akan kesusahannya di kampungnya, maka ia tumbuh dan besar menjadi anak yang baik, cepat kaki ringan tangan, rajin menolong membantu orang, kuat bekerja ia disukai oleh majikannya, seorang saudagar besar yang banyak hartanya. Karena budi bahasanya ia bahkan dibuat menantu, dikawinkan dengan anaknya perempuan majikannya. Saudagar kaya itu pun meninggal dunia, dan semua harta yang ditinggalkannya dipercayakannya kepada si Lancanglah. Kaya rayalah si Lancang di negeri itu. Ia pun dapat mengeloa usaha mertuanya, makin lama kekayaannya makin bertambah. Gedung dan tokonya banyak, kapal-kapalnya pun tak terhitung lagi berlayar dan pulang memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat. Si Lancang pun terkenal kekayaannya.

Si Lancang yang sudah kaya raya itu tak cukup beristri hanya satu. Ia lalu menikah lagi dengan seorang gadis. Tak lama sesudah itu ia mencari istri yang lain, demikian pula selanjutnya, sehingga istrinya semua sudah empat orang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *