Gasing Betuah, Air Molek Inderagiri Hulu

Gasing. (foto:folklor.kosabudaya.id)

TERSEBUTLAH sebuah kampung bernama Air Molek dalam kawasan Kerajaan Indragiri. Rumah-rumah di kampung itu dibuat tinggi-tinggi tiangnya untuk menghindar dari binatang buas dan banjir yang setahun sekali selalu datang mengganggu ketentraman penduduk.

Di ujung kampung itu ada sebuah pondok buruk yang sudah hampir roboh. Atapnya sudah bocor, dindingnya yang dibuat dari pelepah rumbia sudah berlubang-lubang, dan lantainya dibuat dari batang pinang pun sudah harus diganti pula.

Bacaan Lainnya

Di pondok itu tinggallah mak Senah dengan anaknya bernama si Kupang yang sudah bujang. Ayah si Kupang sudah lama meninggal dunia.

Sikupang di lahirkan dengan pusar rambut ganda di kepala. Kata orang siapa yang dilahirkan dengan pusar rambut ganda di kepala baik sekali beternak. Karena itulah banyak orang kampung minta peliharakan kambing mereka kepada si Kupang dengan hasil dibagi dua, sebagian untuk si pemilik dan sebahagian lagi untuk si pemelihara.

Pada suatu hari ketika Si Kupang sedang mencari daun nangka untuk makanan kambing-kambing peliharaannya, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi canang dipukul dobalang tenteng dengan nyaring.

‘Ada apa pula orang memalu canang,’ pikir hati Si Kupang smbil meninggalkan pekerjaaannya. Ingin rasa hatinya mengetahui kejadian yang tidak biasa itu. Ia terus berlari ke arah bunyi canang itu datang. Di halaman rumah Penghulu Muda dilihatnya beberapa orang yang berpakaian bagus berdiri bersama Engku Penghulu menantikan penduduk kampung berkum­pul. Orang-orang yang berpakaian bagus itu datang dari pusat kerajaan di Japura.

“Tentulah ada perkara yang penting akan diberitahukan kepada pendudukl kampung sampai mereka datang ke sini,” pikir hati si Kupang lagi.

Setelah para penduduk berkumpul semuanya, Dobalang tenteng yang merupakan pembesar  kerajaan itupun berkata:

“Hooii encik-encik tuan-tuan, puan-puan, yang kecil tak disebut nama, yang besar tak dihimbau gelar, yang bertuah dengan maruahnya, yang alim dengan amanahnya, yang tua dengan petuahnya, yang muda dengan takahnya, ninik mamak dengan pusakanya, yang bijak dengan arifnya, yang cerdik dengan pandainya, yang datang dari laut dari darat, yang dari hulu dari hilir. Kami ini datang dari Kota Raja membawa heba1 mengembirakan. Tiga pekan dari hari ini di pusat kerajaan akan diadakan perlombaan bermain gasing yang diadakan oleh kerajaan. Siapa yang bernasib baik dapat menjadi juara bergasing akan diangkat sebagai pakar gasing di Kota Raja.”

Sorak sorai pun bergemuruhlah di seluruh kampung itu mengelukan kabar tentang pertandingan besar yang akan diadakan tiga pekan lagi. Pada hari itu juga beberapa orang ada yang langsung pergi ke hutan untuk mencari dan memilih kayu seminai yang handal untuk dibuat gasing. Siapa yang  berhasil menjadi pakar gasing sama artinya dengan menjadi seorang yang pakar tentang kayu-kayuan. Itu jabatan yang tinggi. Idaman orang di seluruh ceruk negeri dan rantau kerajaan Indragiri.

Si Kupang pun tak mau ketinggalan. Ia berlari secepat-cepatnya pulang ke rumah. Tak bertangga lagi ia menaiki rumah mengambil parang, dan tak bertangga pula ia turun, pergi ke tempat batu asahan dan mengasah parangnya.

“Mak, mak, tolong siapkan bekal hamba,” kata si Lancang.

Ibunya terkejut melihat anaknya mengasah parang sampai berkilat-kilat menyilaukan mata.

“Mau ke mana engkau ini Kupang?” tanya emaknya dengan bimbang.

“Tolong sajalah siapkan bekal!” jawab si Kupang sekenanya. “Dan jangan lupa siapkan damar. Barangkali malam baru saya pulang.”

“Mau ke mana engkau?” tanya emaknya lagi.

Dari luar terdengar suara seseorang yang kebetulan berjalan dekat pondok buruk itu. “Dia itu mau pergi ke hutan, mak Senah. Mencari kayu yang baik. Ada lomba gasing di Kota Raja tiga pekan lagi.”

“Dengarkan kata ibumu ini, Kupang!” kata emaknya dengan tegas, “Hari ini hari Rabu penutup bulan Safar. Sudah aku siapkan air tolak-bala untuk kau mandikan petang ini, biar lepas kita dari segala bala-bencana.”

Si Kupang diam saja. Ia terus saja mengasah parang.

“Subuh besok bolehlah engkau pergi ke hutan mencari kayu untuk dibuat gasing. Sabarlah sedikit, itu akan membawa kebaikan. Dengarkanlah kata ibumu ini, Kupang! Aku ini ibumu. Kata ibu, kata bertuah kata orang tua-tua.”

Lembut juga hati Si Kupng mendengarkan kata-kata ibunya. Petang itu ia pun pergi ke perigi di bawah bukit untuk mandi air tolak-bala yang sudah disediakan emaknya.

Malam itu si Kupang tertidur dengan sangat nyenyaknya. Lewat tengah malam ia pun bermimpi, mendiang ayahnya datang ke pintu depan, memberi salam, naik ke rumah, dan mendekati tempat si Kupang tidur di atas tikar pandan, mencuit bahunya dan berkata:

“Kupang, bangunlah! Tiga pekan lagi engkau akan mengadu nasib di Kota Raja. Karena itu mari kubantu engkau. Ketika aku masih hidup dulu selalu aku pergi ke hutan. itulah sebabnya aku tahu dimana tempat kayu yang baik, yang akan mendatangkan tuah kepadamu. Pergilah engkau ke arah matahari terbit, sampai berjumpa dengan sebatang pohon yang merunduk menenteng arah angin. Buatlah gasing yang kecil saja dengan kayu itu.” 

Setelah itu sosok mendiang ayahnya itupun raib. Dan si Kupang pun terbangun. Dipikirkannya apa yang baru terjadi. Tak lama kemudian ia pun tidur nyenyak.

Pada waktu yang sama mak Senah yang tertidur dengan gelisah pun bermimpi: mendiang ayah Si Kupang berdiri di pintu depan, memberi salam, naik ke rumah dan mendekati tempat emak Senah tidur di atas tikar pandan, mencuit bahunya dan berkata.

“Senah bangunlah! anak kitaSi Kupang, tiga pekan lagi akan mengadu nasibnya di kota Raja. Karena itu mari kita bantu dia. Ketika aku masih hidup dulu selalu aku pergi ke hutan. Itulah sebabnya aku tahu di mana tempat kayu yang baik, yang akan mendatangkan tuah kepada anak kita. Katakanlah kepadanya agar pergi mengikut arah matahari terbit, sampai berjumpa dengan sebatang pohon yang merunduk menentang angin. Suruh dia membuat gasing yang kecil saja dari kayu itu.” 

Setelah itu sosok mendiang ayah si Kupang pun raib. Dan mak Senah lalu terbangun. Dia teringat hendak menyiapkan bekal untuk anaknya.

Dengan tergesa-gesa dia sibuklah menanak nasi untuk dibuat bekal si Kupang mencari kayu di dalam hutan. Nasi panas dibungkus dalam upih pinang dengan lauk ikan salai dan sambal lada hijau. Disauknya air perigi, setabung bambu dan disumbatnya baik-baik dengan sabut kelapa. Lalu disiapkannya pula damar, kalau-kalau ia kemalaman pulangnya nanti. Setelah siap semuanya diapun pergi membangunkan anaknya.

“Kupang!Kupang! “Kata mak Senah, “bangunlah! hari sudah dekat subuh. Kata engkau mau pergi ke hutan”.

Sikupang tersentak dan terus bangun, “Ya, mak… Ya, mak,” sahutnya.

Si Kupang pun bergegas pergi dekat perigi yang jaraknya cuma beberapa langkah dari pintu belakang. Ia mencuci mukanya bersih-bersih. Kemudian ia naik kembali ke pondok, dan mak Senah menymbut anaknya dengan secangkir kopi yang panas.

Ketika si Kupang sedang menghirup kopinya itulah mak Senah menceritakan mimpinya. Dengan heran si Kupang mengatakan kepada ibunya tentang mimpi yang sama.

“Mudah-mudahan berhasil pekerjaanmu, anakku, “Kata mak Senah berdoa. “Sengaja aku lebihkan bekalmu. Jangan-jangan panjang perjalanan dalam hutan itu.”

Si Kupang pun pergilah seorang diri. Dalam gelap menjelang subuh itu kakinya sudah hafal pada jalan ke hutan. Ketika pagi datang ia sudah sampai ke tengah hutan lebat. Diteruskannya perjalanan mendaki bukit, menuruni lembah, ke arah matahari terbit. Sampai hari menjelang petang barulah dilihatnya sebatang pohon yang daun-daunnya merunduk menantang arah angin.

“Inilah pohon yang dikatakan ayahku dalam mimpi malam tadi,” pikir hati si Kupang. Lalu ia pun menebang pohon itu, mengambil terasnya. ketika ia berjalan hendak pulang, hari sudah mulai gelap.

Benar seperti yang disangka oleh mak Senah. Hari sudah saburlimur dan si Kupang belum lagi pulang. Dengan gelisah mak Senah menunggu anaknya pulang. Hari sudah mulai gelap si Kupang belum juga pulang. Mak Senah tambah gelisah. Hari sudah tengah malam dan si Kupang masih juga belum pulang. Menjelang subuh baru didengarnya langkah kaki orang di tanah.

“Kupang! “serunya, “Engkaukah?”

“Ya, mak, “jawab si Kupang.

Mak Senah merejuk ke arah pintu pondoknya dan membukanya, benarlah rupanya. Si Kupang pulang dengan letih. Tangan menjinjing sepotong kayu, coklat tua warnanya, berkilat-kilat dalam cahaya pelita damar.

Keesokan harinya si Kupang bangun pagi-pagi benar. Ia pergi mengasah parang tajam-tajam, lalu mulai bekerja menarah kayu yang diambilnya dari hutan kemarin. Dari pagi sampai petang, dengan keseluruhan keterampilannya yang ada dalam dirinya ia membuat sebuah gasing yang kecil saja, tapi sangat bagus, sangat gesit dan lincah.

Tiga pekan kemudian, si Kupang pun siap hendak berangkat ke Kota Raja. Sebelum mau berangkat mak Senah membacakan doa di depan anaknya yang tunduk dengan hormat.

“Jangan engkau lupa tujuanmu datang ke Kota Raja,”

Si Kupang memasuki Kota Raja. Kelihatan benar si Kupang agak canggung. Maklumlah ia memang belum pernah menjejakkan kaki di situ.  Orang-orang yang melihatnya banyak yang mengejeknya. “Macam rusa masuk kampung!” atau ejekan yang lain. Namun, semua itu tak didengarkan si Kupang.

Ia segera mendatangi penghulu gelanggang, dan diberi seutas benang tiga warna berpilin sebagai tanda resmi boleh ikut dalam gelanggang permainan gasing yang akan bermula besok, dan boleh tidur di sebuah balai yang disediakan.

Pada malam harinya gelanggang yang akan dijadikan tempat permainan gasing itu penuh dengan enam pasuk panjak joget. Banyak para peserta perlombaan yang ikut menari. Si Kupang tak berani memasuki tempat itu karena pakainnya buruk, dan uangnya pun sedikit. Dari jauh ia hanya melihat orang-orang yang bergembira itu. Ada seorang penari joget yang sangat memikat hatinya. Perempuan joget  yang siput jogetnya bersuntingkan bunga raya menari sambil bernyanyi dengan suara berdedai-dedai sambil menjeling kepada si Kupang.

lumba-lumba main gelombang
riaknya sampai ke Indragiri
coba-coba menanam mumbang
kalau hidup payung negeri

Orang semua sibuk memuji penari joget itu. Mereka menyebutkan namanya, Bedah. Pantun dan jelingan mata joget yang bernama Bedah itu tak dapat dilupakan oleh si Kupang. Malam itu ketika hendak tidur, ia asyik berkhayal pada rupa dan lenggang-lenggok penari itu. Tapi ia segera teringat pada pesa emaknya, “Jangan engkau lupa tujuanmu datang ke kota Raja, Kupang. Bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk mengadu nasib. Untung batu tenggelam, untung sabut timbul”.

Gelanggang pun dibuka keesokan hari. Pagi-pagi sekali para peserta yang berjumlah lebih seratus orang itu memainkan gasing masing-masing secara serentak. Ketika matahari sudah sepenggalah barulah didapatkan duabelas peserta yang gasingnya berputar paling lama.

Tepat tengah hari, ketika matahari tepat di ubun-ubun, keduabelas orang peserta itu secara serentak memainkan gasingnya untuk mendapatkan beberapa orang yang paling lama berputar. Ketika hari sudah hampir gelap terdapatlah lima orang yang gasingnya berputar tak berhenti-henti yang sejak mulai dimainkan pada tengah hari tadi. Di antara lima orang itu termasuklah gasing si Kupang. Akan tetapi kempat orang peserta mengejek gasing si Kupang yang kecil.

“Pastilah kau kalah besok,” kata salah seorang di antara keempat saingannya, “Besok pertandingan bukan beradu lama berputar, tapi memangkah gasing lawan. Bagaimana gasingmu yang kecil itu dapat bertahan,” kata yang satu lagi mengejek.

Si Kupang diam saja mendengar kata-kata orang itu.

Keesokan harinya pertandingan tambah ramai. gasing si Kupang dipangkah habis-habisan oleh empat orang saingannya. Akan tetapi anehnya, gasing kecil itu semakin dipangkah semakin ligat berputar, semakin dipangkah semakin cepat. Tak berhenti-henti dari pagi sampai petang. Orang-orang bertambah banyak melihat gasing yang luar biasa itu. Mereka bersorak memberi semangat dengan menyebut-nyebut nama si Kupang. Gasingnya meliuk-liuk seperti hendak mati. Tapi segera berputar lebih ligat.

Sorak-sorai pun kian gemuruh melihat gasing yang seperti bernyawa itu. Maka sebelum hari gelap, penghulu gelanggang memutuskan, si Kupng sebagai pemenang.

Besoknya, ia pun dibawa oleh penghulu gelanggang menghadap raja, dan diangkat sebagai pakar gasing yaitu seorang yang ahli dalam urusan kayu-kayuan. Sejak itu senanglah hidup di Kupang bersama ibunya mak Senah.

Sumber:
Tanpa Penulis. 1996. Cerita Rakyat Indragiri Hulu. Rengat: Pemerintah Daerah Tk. II Indragiri Hulu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *