Asal Mula Negeri Lipatkain Versi 2 – Kampar

Kain berlipat-lipat kini menjadi batu di Negeri Lipat Kain.

PADA ZAMAN dahulu, hiduplah seorang wanita miskin bersama anak lelakinya yang bernama Si Lancang. Mereka tinggal di sebuah gubuk reot di Negeri Kampar. Ayah Si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Si Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan Si Lancang mengembala ternak tetangganya.

Suatu hari Si Lancang meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Walaupun sedih akhirnya Emak Si Lancang mengizinkan anaknya pergi.

Bacaan Lainnya

”Baiklah, kau boleh merantau Nak, tetapi jangan lupa Emak di sini, jika nanti kau sudah kaya segeralah pulang Nak.”

“Jangan khawatir Mak. Aku takkan melupakan Mak disini,” jawab Si Lancang.

Keesokan harinya, Si Lancang meninggalkan kampung halamannya.

Setelah bertahun-tahun merantau kenegeri orang, akhirnya Si Lancang menjadi seorang pedagang yang kaya raya. Ia mempunyai berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan merekapun kaya-kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak Si Lancang hidup seorang diri.

Suatu hari Si Lancang berkata kepada istri-istrinya bahwa ia hendak mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya sangat senang. Mereka lalu meminta segala macam pembekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Si Lancang mengabulkan permintaan-permintaan istrinya tersebut.

Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal Si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal Si Lancang yang sangat megah merapat di Batang Kampar, kampung halamannya.

”Hai…! Kita sudah sampai…! Teriak seorang anak buah kapal.

Penduduk di sekitar pantai berdatangan melihat kapal megah Si Lancang. Rupanya sebagian mereka masih mengenal wajah Si Lancang.”

“Wah Si Lancang rupanya! Ia sudah jadi orang kaya rupanya”, kata guru mengaji Si Lancang.

”Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau ia masih ingat kampung halamannya ini”, kata teman Si Lancang sewaktu kecil. Ia lalu memberitahukan kedatangan Si Lancang kepada emak Si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.

Betapa senangnya emak Si Lancing ketika mendengar kabar anaknya datang.

”Oh, akhirnya Si Lancang pulang juga”, serunya dengan gembira. Ia bergegas bangkit dari tempat tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang camping, emak Si Lancang berjalan tertatih-tatih untuk menyambut kedatangan anaknya di pelabuhan.

Sesampainya di pelabuhan, emak Si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal anaknya. Ia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu.

Saat hendak naik kapal, tiba-tiba anak buah Si Lancingg menghalanginya.

”Perempuan jelek! Jangan coba-coba naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah Si Lancang.

“Tapi… ambo Emak Si lancang”, lirihnya.

Tiba-tiba Si Lancang muncul dan berkata.

”Bohong…! Aku tidak pernah punya emak miskin dan tua renta seperti dia. Usir dia dari kapalku”, teriak Si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya.

Rupanya ia malu juga jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.

”Oh Lancang… anakku! Emak sangat rindu padamu Nak!” rintih Mak Lancang.”

“Usir perempuan gila itu dari kapalku,” Teriak Si Lancang.

Anak buah Si Lancang mengusir emaknya dengan kasar. Ia didorong hingga terjembab.

Dengan hati yang sedih emak Si Lancang pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan ia menangis. Ia tidak menyangka anaknya tega berbuat seperti itu kepadanya.

Sesampainya di rumah, emak Si Lancang mengambil lesung dan nyiru pusaka. Ia memutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata.

”Ya, Tuhanku. Si Lancang telah aku lahirkan dan telah aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, tidak tidak mau mengakui ku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan kepadanya kekuasaan-Mu!”

Tiba-tiba turun hujan yag sangat lebat, petir menggelegar menyambar kapal Si Lancang. Gelombang Batang Kampar menghantam kapal Si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang yang berada di kapal megah itu berteriak kebingungan, sementara penduduk kampung berlarian menjauhi sungai.

“Emakkkkk… Lancang anak Emak pulang. Maafkan aku, Maaaaaak!” terdengar sayup-sayup teriakan Si Lancang di tengah topan dan badai. Akhirnya Si Lancang tenggelam bersama kapalnya yang megah. Barang-barang yang ada di kapal melayang-layang. Kain berlipat dan bertumpuk menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.

Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak Si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi pasubillah yang terletak berdekatan dengan Danau Si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal Si Lancang tegak tersisa.

Bila sekali waktu tiang bendera itu tampak muncul kepermukaan danau, maka pertanda akan datang atau akan terjadi banjir di Batang Kampar. Banjir itulah air mata Si lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada emaknya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *