Anjing dan Lingkitang

Lingkitang. Ilustrasi.

Konon kabarnya dahulu, semasa nenek makan keluang, Lubuk Koto yang terletak di mudik tangga pasar Kuok sekarang terjadi beberapa peristiwa yang tidak terlupakan.

Lubuk yang dulu tak kurang dalamnya dari dua batang kelapa, kini telah jadi pulau, telah banyak memakan korban, karena di situ tekah banyak orang yang karam dan hilang lenyap. Namun pernah pula terjadi, seorang yang handai ditangkap buaya dan dibenam dua hari dua malam di Lubuk Koto itu, berkat kesetiaannya, dia dapat timbul kembali dengan selamat. Sejak itu dia digelar orang Datuk Timbul.

Bacaan Lainnya

Berselang beberapa tahun kemudian, sewaktu terjadi kemarau panjang, menyebabkan tumbuh-tumbuhan dari binatang kesulitan air.

Tersebutlah kisah seorang anjing yang hidup di sekitar Bukit Koto Lindung Bulan merasa sangat haus. Dengan bersusah payah ia menuruni tebing yang tinggi dan curam itu, barulah sampai ia ke tepian lubuk itu. Dengan tidak membuang waktu lagi, dihirupnya air itu dengan lahabnya. Dalam pada itu ia berpikir, alangkah sedapnya jika ia beroleh sepotong makanan untuk mengusir laparnya. Matanya yang berkaca-kaca itu liar mengamati kian kemari.

Tiba-tiba ia berseru,
“Hei siapakah kau? Kenapa kau bersembunyi dan mau lari! Tentu kau enak juga di makan, bukan? Tapi sayang kau terlalu kecil, akan menjadi tahi gigi saja bagiku.

Meskipun Raja Lingkitang takut, tapi karena panas hatinya mendengar cacian anjing itu ia pun berkata,

“Hei kak, meskipun aku kecil, belum tentu selemah yang kakak duga. Coba kak Anjing tunjukkan, siapa yang sanggup memikul rumahnya ke mana pergi?”

“Jadi kau menganggap dirimu kuat? Tak sadarkan diri, berjalan saja kau berinsut-insut. Tak ada yang diharapkan dari engkau!” ujar Anjing.

“Hei kak, jangan suka menghina. Belum tentu yang besar itu mengalahkan yang kecil. Tidak ingatkah kakak kisah semut dengan gajah? Bukankah gajah yang besar lagi sombong itu dengan mudah saja dapat dikalahkan semut yang lata!”

“Jadi kamu mau adu kekuatan denganku?” Hardik Anjing mulai naik darah.

“Lawan tidak dicari, tapi bertemu pantang dielakkan, pesan nenekku,” sambut Raja Lingkitang yang telah mulai panas pula.

“Hei Lingkitang, apa maumu? Tanding sebanyak-banyak makan, secepat berlari, setajam-tajam hidung boleh pilih, konyol kau aku buat nanti.”

“Hei Kak Anjing, kakak terlalu mencari jalanku lambat. Baik kita uji dulu! Ayo kita berlomba secepat berlari.”

“Baiklah kalau begitu,” sergah Anjing

“Tapi perlu Kak Anjing tahu, sekarang Sungai Kampar sangat dangkal airnya, sulit bagiku berlari kencang, takut rumahku pecah tersandung batu. Kini bulan sedang purnama, biasanya bila bulan kecil, selalu turun hujan. Kita tunggulah agak dua minggu, bila hari hujan atau air agak dalam, barulah kita berlomba.”

“Kalau selama itu tak turun hujan, bagaimana? Atau engkau memang pengecut!” Teriak Anjing tak sabar.

“Pertandingan kita laksanakan hari Ahad, dua minggu yang akan datang” jawab Lingkatang.

“Itu yang baik jika engkau jantan,” hardik Anjing.

Kiranya burung murai yang sejak tadi mendengar perbantahan kedua hewan itu tiba-tiba menyela.

“Hei, mengapa kalian ini? Bagi saja sama banyak, kerat sama panjang habis perkara!”

“Eh, Engkau Murai?” seru Anjing.

“Maukah kau menjadi saksi pertandingan berlari dari Lubuk Koto Lindung Bulan sampai ke Muaratakus,” sela Raja Lingkitang.

Anjing kembali mendaki Bukit Koto sambil mencaci-maki.

Sedangkan Raja Lingkitang pergi menemui perdana menterinya, seraya menceritakan hal dan taktik yang hendak dilakukannya untuk mengalahkan Anjing. Setelah perdana menteri diajarinya masak-masak untuk menghadapi pertandingan pertama di Lubuk Koto, ia kemudian melanjutkan perjalanan memudiki sungai Kampar. Beberapa tepian, Tanjung dan Teluk dilewatinya. Tiap-tiap jarak tiga kilometer ia berhenti menemui Ketua Lingkitang yang ada di sana sambil menanam perwakilannya. Lingkitang yang berada di mudik anjing hendaknya menjawab “Aku Lingkatang telah sampai di sini”.

Setelah Rantau Berangin dilewatinya, perjalanan dan berlanjut ke Pulau Gadang. Sebagai pada tempat persinggahan lain-lainnya, disinipun dilakukannya demikian. Demi titahnya dianggapnya telah mantap diterima wakilnya dan lelahnya telah lepas, maka perjalanan di lanjutkannya pula menuju ke hulu. Satu persatu benting dan teluk dilaluinya. Dengan demikian, negeri Muara Mahat, Tanjung Alai, Batu Bersurat, Pongkai, dan Koto Tuo telah dilewatinya. Di sini kepada salah seekor Lingkatang yang berada di ulak tepian orang perenpuan, Raja Lingkatan mengamanatkan, “bila terdengar anjing menmanggil Lingkatang, maka kamu jangan lupa menjawab dengan nada putus asa” aku baru sampai di sini”. Selesai bertuah Raja Lingkatang itupun meneruskan perjalanan menuju Muara Teluk.

Setelah 12 hari dan 12 malam menempuh perjalanan dengan bersinsut dan dengan cara menopang dan pada sampan orang yang hadap mudik, sampailah Raja Lingaktang itu ke tempat akhir pertandingan, yakni ke negeri Muara Takus yang bersejarah, yang termahyur dalam adat dengan julukan “Negeri Telaga Undang” tempat berdirinya candi sekarang.

la merasa lega, karena ia mengira akan dapat memenangkan perlombaan itu, asalkan apa yang telah direncanakannya berjalan baik.

Bertepatan pula pada malam hari itu, dua hari sebelum pertandingan dimulai, hari hujan lebat, menyebabkan sungai Kampar menjadi dalam airnya dalam dan agak keruh.

Pada hari Selasa sebagai yang telah dijanjikan semua, maka hadirlah ketiga binatang itu dibawah tebing Bukit Koto Lindung Bulan.

Tiba-tiba burung Murai bertanya, “benarkan saudara-saudara berdua memerlukan saya sebagai saksi atau juri dalam pertandingan kalian?”.

“Ya, memang demikian kami harapkan”, jawab Anjing dan Lingkatang serentak.

“Kalau begitu baikalah kita mulaim saja. Bila bilangan saya sampai tiga, maka masing-masing kamu mulialah berlari!”. “Nah sekarang bersiaplah! Satu…. Dua…. Tiga!!! Teriak Murai sambil memberi isyarat dengan sayap dan kakinya. Anjing berpacu dengan sekuat-kuatnya bak kumbang putus tali, bagai peluiru ditembakkan. Sedangkan Lingkatang bergerak ke tengah sungai itu dan menghilang dalam air keruh itu. Burung Murai terbang melayang tinggi rendah, melewati semak-semak yang merunduk dan menjulai di pinggiran sungai itu sambil mengikuti Anjing.

Pada tiap-tiap kurang jarak 3 km, Anjing itu menghimbau “Lingkatag, di mana engkau?”.

“Aku telah sampai ke sini!” ujur lingkatang yang berada mudik anjing itu. Amnjing memperkencang larinya. Benda yang besar di lompatinya, akar-akar halus dilandanya saja. Selurus berlari, ia berseru pula, ” Hei lingkatang, di mana engkau?”.

“Aku telah sampai di sini. “Anjing heran, ia berusaha berpacu semakin laju, tak hirau lagi, rumput jelatang dilandanya, tunggul dan munggu di lompatinga, sungai kecil di raungnya, duri-duri kecil dibawah lalu saja. Makan dan minimum tak dihiraukannya. Sungguh malu jika ia mengenagkan jika nanti ia kalah dalam pertandingan melawan Lingkatang yang dianggapnya remeh itu.

Setelah dua hari dua malam anjing itu mengalami perjalanan berat, sampailah ia ke Negeri Koto Tuo. Tiba dimudik tepian perempuan itu berseru, “Hei Lingkatang di mana kamu?”.

“Ah, aku baru sampai ke sini”, jawab Lingkatang seakan kecewa.

“Engkau di mana?, ulang anjing dengan perasaaan lega.

“Di sini! Di ulak tepian ini”.

“Oh kalau begitu mampuslah kau! Aku pasti menang nanti!!!”.

“Hai belum tentu anjing, buaya masih berayun, roda masih berputar,” sela Murai”.

Muara takus tak jauh lagi dari sini, masing-masing kamu berupayalah untuk mencapai kemenangan. Teruskan perlombaan ini. Kemengangan telah diambang pintu!” Desak Murai.

Setelah berhenti minumnya sekedarnya, anjingpun berpacu kembali, berpacu langkah seribu ke hulu, karena dihadapannya telah terbayang kemenangan di pihaknya. Akan halnya Raja Lingkatang,, ia telah lama bertengger di atas urat kayu di tebing di mudik tepian Muara Takus itu.

Pada hari ketiga perlombaan, tepat di tengah hari, sewaktu lengang orang ditepian, dari kejauhan dihilir tampaklah dua ekor binatang yang menuju ke mudik. Setibanya anjing tentang tepian laki-laki yang mejadi batas perlombaan itu, maka anjingpun berseru dengan gagahnya, “Menang!!!! Akulah yang menang !!! Ha….ha….ha!!!”.

Sejenak kemudian terdengarlah suara dimudik tepian itu”, hei Anjin, akulah yang lebih dahulu menang!”, kata Raja Lingkatang “mana boleh, mana bisa melawan aku?”

“Hei kalian, jangan bergaduh! Bukankah aku juri?”, kata burung Murai.

“Aku yang menang!” seru anjing.

“Tidak usah bersitengang urat leher keparat!” kini akulah yang berhak memutuskan, coba kalian dengarkan. Menurut hematku memang anjing yang dulu mengatakan menang. Tapi mengingat bahwa Raja Lingkatang telah sempat memanjat urat di tepian dan badannya telah kering pula, membuktikan bahwa Raja Lingakatan telah dahulu sampai. Maka sebagai juri dan saksi, saya yang memutuskannya, “Lingkatang yang menang”, demikian ketegasan burung Murai Menegaskan keputusannya.

Anjing yang tak merasa senang menerima kekalahan itu sambil berjalan pulang sambil memberegut menuduh burung Murai tidak adil. Muarai yang merasa adil dan benar telah rela berkorban waktu dan tenaga merasa tersinggung oleh Anjing. Maka burung Murai menegaskan keputusannya sambil mengiringi Anjing ke hilir. Sementara Raja Lengkitang ke hilir berakit batang pisang, burung Murai mengumumkan:

“Jan… Kicau kiciak
Jan… Kicau Kiciak
Dan kacau ke ulak
Lengkitang jua nan punya ranjau…”

Sungguh malu anjing mendengar kicau burung Murai it, jika dua kepalanya, maulah ia memecahkan sebuah. Mengalirkan peluh dinginnya mengenang kekalahannya itu. Tiba di hilir Muara Tatus tidak tertanggungkan lagi olehnya menahan malu,apalagi murai tiap-tiap seebentar menyiarkan kekalahannya.Nekatlah anjing itu,dari berkepanjangan menanggung malu,lebih baik mati berkalang tanah,demikian pikirannya.

Maka pergilah ke tengah air, seraya memohon kepada Yang Maha kuasa supaya ia menjadi batu….

Konon ditakdir puolalah oleh yang maha kuasa,jka sekarang kita memudik sungai kampar,menjelang ke mura mahatam,sebelum ke batu kejahatan akan menemukan batu yang berbentuk anjing,yang sekarang masyru disebut orang”Batu Anjing”.Bahkan salah satu jembatan yang dibangun disekitar tempat itu,kini terkenal dengan nama”Jembantan Batu Anjing”.

Konon ditakdirkan pula oleh yang mahakuasa,jika sekarang kita memudik sungai kampar,menjelang ke muara Mahatam,sebelum ke batu kejahatan,akan menemukan sebuah batu yang berbentuk anjing.yang sekarang masyru disebut orang”Batu Anjing”.bahkan slah satu jembantan yang di bangun di sekitar tempat itu,kini terkenal dengan nama”Jembantan Batu Anjing”.

Akan halnya Raja Lingkatang, bak kata pribahasa, ”Negeri berpenghulu, rantau baraja, bak pinang pulang ke tampuk, maka takkalah pisang di hanyutkan arus sungai Kampar sampai kelubuk koto,Raja lingkatang turun singgah dan bermukimlah ia disinggasananya di lubuk kota lindungan Bulan.

Akan halnya burung murai sampai sekarang selalu bersenandung.

“Jan… Kicau kiciak
Jan… Kicau Kiciak
Dan kacau ke ulak
Lingkatang jua nan punya ranjau…”

*Lingkitang = lengkitang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *