Asal Usul Masyarakat Adat Akit, Hatas, dan Hutan

Bedikei. Masyarakat adat Akiit di Kampung Hutanpanjang Pulau Rupat sedang melaksanakan ritual pengobatan bedikei. (foto: kosabudaya.id)

Penyebutan Akit, Atas atau Hatas, dan Hutan dikisahkan bermula di masa kerajaan di Siak. Kerajaan itu mungkin saja Kerajaan Gasib atau Kerajaan Siak itu sendiri. Kisahnya secara ringkas dapat dibaca sebagai berikut:

Asal-usul penamaan suku Akit, Hatas, dan Hutan didasari pada satu penceritaan di kalangan masyarakat suku Akit. Cerita itu tentang perintah mengambil kayu untuk pembuatan bangsal – bangunan darurat tempat mereka menerima tamu, bangunan tempat masak, bangunan tempat mencuti pinggan-mangkuk, dan bangunan darurat lainnya layaknya sebuah perta besar seorang anak bangsawan,— perkawinan putri kesayangan. Jumlah kayu yang harus diambil itu sangat banyak.

Sultan keheranan, dalam waktu sekejap saja, kayu-kayu tersebut sudah terkumpul, jumlahnya sangat banyak. Dalam perkiraan Sultan, waktu yang diperlukan untuk mengambil kayu itu relatif lama, mungkin saja berbulan-bulan. Ada kelompok kerja yang berperan dalam pekerjaan itu yakni tukang tebang, tukang buat rintis atau jalan, dan tukang buat rakit.

Pekerjaan penebang hanya bertugas menebang kayu dalam rimba tidak jauh dari anak-anak sungai. Kayu-kayu yang sudah tumbang, lalu dikerat ujungnya. Sementara kelompok penebang ini melakukan pekerjaannya, kelompok lain pula, merintis anak sungai atau membuat jalan agar memudahkan mereka mengeluarkan kayu berukuran panjang dari hutan tersebut. Di tepi sungai besar, ada kelompok yang bekerja merakit kayu untuk dihanyutkan hingga sampai ke tepi istana. Setiap masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pengetua.

Dari pengelompokan kerja itu pula nama suku Akit, Atas atau Hatas, dan Hutan bermula. Pekerja yang masuk hutan untuk menebang kayu, diberi nama Suku Hutan, kelopok yang meratas anak sungai diberi nama Suku Atas atau Hatas, kelompok yang melakukan pekerjaan merakit kayu diberi nama Suku Akit atau Rakit. Pemimpin masing-masing kelompok bekerja diangkat menjadi batin.

Perpindahan mereka dari pedalaman sungai Siak ke Rupat karena hewan buas yang selalu menyerang kampung mereka. Mereka meminta bantuan sultan untuk dicarikan kawasan baru di wilayah kepulauan untuk dijadikan tempat menetap. Mereka sesungguhnya merasa kewalahan selalu berhadapan dengan berbagai binatang buas. Sultan mengabulkan permintaan rakyatnya. Penguasa negeri itu menunjuk Megat Alang Dilaut untuk menjadi pemimpin eksodus. Ini disebabkan sang Megat memang sangat menguasai kawasan kepulauan di wilayah Kerajaan Siak. Megat Alang Dilaut diyakini oleh sultan untuk dapat mencari kawasan baru yang menjadi idaman masyarakat Suku Hutan, Suku Hatas, dan Suku Akit.

Empat perahu besar berlayar menelusuri sungai Siak mengikuti arus surut. Perahu suku Hutan, Akit, Hatas dipimpin perahu Megat Alang. Entah berapa lama, perahu-perahu itu sampai ke pulau harapan yang belum memiliki nama ketika itu. Kini pulau itu bernama Pulau Bengkalis. Kawasan yang pertama kali mereka masuki adalah kampung Penebal saat ini. Pulau itu sudah dihuni orang Muntai yang berkampung dipantai berhadapan dengan semenanjung Malaysia.

Tiga suku ini membuka kampung baru yakni Penebal dan Penampi saat ini. Mereka bercocok tanam di atas lahan baru itu. Belum lagi hasil tanaman itu dapat dimakan, dua di antara tiga suku ini merasa tidak memiliki masa depan yang cerah bilamana mereka tetap menetap di pulau baru itu. Melihat kondisi tanah yang mudah tergenang oleh air laut, diperkirakan tanaman mereka tidak dapat menghasilkan secara memadai. Karenanya, dua di antara suku itu yakni Suku Rakit dan Suku Ratas, berkeras hati untuk mencari pulau lain, sebuah pulau yang lebih baik.

Rombongan Suku Akit dan Suku Ratas meninggalkan pulau (kini disebut dengan Pulau Bengkalis). Mereka menuju ke barat daya arah sebuah daratan pesisir timur Sumatra. Arah yang dituju saat ini disebut dengan istilah Tanjung Datuk. Setelah letih berlayar, dari arah Tanjung Datuk mereka diarahkan oleh Megat Alang Dilaut untuk menuju ke arah Utara untuk menelusuri pantai timur pulau itu. Di pantai barat pulau itu terdapat sebuah sungai yang membelah pulau itu sehingga menjadi dua bagian sehingga sampai arah barat dan barat laut. Sungai itu awalnya bernama Selat Lorong karena menyerupai lorong untuk masuk ke arah pulau yang kini disebut dengan Pulau Rupat.

Rombongan segera mengarahkan perahu mereka ke arah muara selat yang kini bergeser bunyi menjadi Selat Morong. Seketika mereka sampai, terdengar suara menggema. Intinya melarang perahu-perahu masuk selat terkecuali harus menyerahkan antaran.

Kepala Suku Rakit dan Kepala Suku Ratas tidak aneh mendengar syarat itu. Itu adalah suara makhluk gaib penunggu gerbang Pulau Rupat bagian timur. Selain itu, hal-ihkwal antar-mengantar bukanlah suatu permintaan yang aneh bagi mereka melainkan merupakan suatu hal yang lumrah.

Ketika ditanya jenis barang antaran, kepala suku terkejut mendenganya. Apa Barang yang diminta sulit didapat dan harganya terlalu mahal. Penunggu gerbang mengizinkan mereka masuk apabila mereka mampu menyerahkan sepasang kiyau (alat penggerak sampan), sepasang tol kiyau (alat penyangga untuk menambatkan kiyau, dan sepasang tempurung untuk penimba air sampan yang semua terbuat dari emas. Mendengar persyaratan itu, Megat Alang Dilaut segera berlayar menuju Siak. Dia melaporkan permintaan penunggu gerbang itu kepada sultan. Tentang kebaikan hati Sultan Siak ketika itu memang diketahui rakyat jelata. Itulah sebabnya, mereka yakin sultan memberi emas yang diminta sesuai dengan jenis dan bentuknya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *