Asal Mula Pulau Sangkar Ayam-Inderagiri Hili

KONON, di sebuah kampung di negeri Seribu Parit, di Pantai Solop yang menghadap ke Tanjung Datuk. Tersebutlah kisah seorang guru ngaji yang alim dan taat. Ia sudah sangat tua, janggutnya lebat mengurai putih. Jika berjalan, harus dipopang tongkat sakti pemberian gurunya.

Kesaktiannya tiada tolok banding. Terkenal hingga ke pelosok negeri. Air dan api menjadi kawannya, angin dan besi menjadi sahabatnya. Dan, jika ia diserang, diganggu, hendak dibunuh. Air yang cair akan membeku tempat ia berlari, api yang panas akan menerjang membakar hingga hangus lebur hitam, angin yang lembut akan menggulung ganas menghalau musuh yang datang, besi yang keras akan mencabik-cabik hingga tiada tersisa.

Bacaan Lainnya

Dialah Tuk Solop, sang guru sejati. Ilmu tidak terjulang, amal tidak terdaki. Jika memandang ditundukkan, jika berbicara dilemahkan, kepada yang muda disayangi kepada yang tua dihormati. Namun sayang, sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru kepadanya. Muridnya yang banyak kini sudah pergi tidak tersisa. Pantai Solop pun menjadi sepi.

***

Tidak seberapa jauh dari Pantai Solop, hanya puluhan jengkal sekian depa, di sebuah dusun bernama Serimba. Tersebut juga pendekar muda yang gagah berani. Ilmu silatnya tiada tanding alang kepalang, kerisnya bagai halilintar menyala, tubuhnya kebal tahan besi.  Ia bernama Pendekar Katung.

Namun, Pendekat Katung bertolak belakang dengan Tuk Solop. Ilmunya telah berbalik akal, kepandaiannya berbuah kesombongan. Tetapi, ia memiliki berpuluh-puluh murid yang berguru, berpuluh-puluh pengawal yang setia.

Kegemaran Pendekar Katung adalah menyambung ayam. Ia memiliki ayam jago tidak terkalahkan dari penyambung ayam manapun. Sudah ratusan ayam mati olehnya.  Ia menjadi terkenal dan kaya dari hasil taruhan menyambung ayam tersebut.

Pendekar Katung juga memiliki seorang adik perempuan yang sangat cantik, Suri ia bernama. Sebenarnya bukan adik kandungnya, ia adalah anak dari seorang penyambung ayam yang mati karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh di hutan Serimba, Suri yang masih bayi diasuh oleh Pendekar Katung.

***

Di sebuah negeri, berpuluh-puluh purnama dari Pantai Solop, seorang musafir muda pergi berkelana. Ia ingin menuntut ilmu, mencari pengalaman, membela yang lemah membasmi yang batil. Tumpuan di dunia, sandaran di akhirat.  Segala tempat telah dilalui, semua kampung telah disinggahi, setiap guru telah ditemui, namun dahaga ilmu belum terpuasi.

Di tengah keputusasaan. Ia mendengar kabar yang membahagiakan, di sebuah negeri nun jauh di sana, seorang guru sejati tidak mempunyai murid, sang guru tengah mencari murid yang setia dan amanah, melanjutkan ilmu yang berguna, menegakkan agama, membela yang lemah. Sang guru telah tua dan tentu sebentar lagi akan menghadap yang kuasa.

Setelah menyiapkan segala perbekalan perjalanan, berangkatlah sang Musafir Muda menuju negeri yang dimaksud. Berhari-hari jalan dilalui, sungai danau diseberangi, hutan lebat tiada penghalang. Dan akhirnya sampailah Musafir Muda di negeri yang dituju, Pantai Solop.

Sesampai di Pantai Solop, Musafir Muda tercengang tiada tara. Tak salah ia menuju negeri itu, pantainya indah berpasir putih, ombak menghempas menggulung lembut, nyiur melembai ditiup angin. Nun tinggi di sana, beraltar langit biru, camar putih memekik riuh rendah, seekor camar lain datang mendekat, mereka bergelut, berkejar-kejaran, dan melayang tinggi di angkasa. Mungkin itu kekasihnya! Guman Musafir Muda. Rasa letihnya hilang, penat pun tidak terasa lagi.

Namun, musafir Muda melamun sesaat, sepertinya ada sesuatu yang terpikirkan.

“Tapi! Di manakah tempat sang guru itu?” katanya pada diri sendiri. “Bukankah tidak ada siapa-siapa di pantai ini?” ujarnya lagi.

Lelah mata memandang. Ia tidak juga menemukan siapa-siapa di pantai itu. Di tengadahkan kepalanya ke atas, nampak di langit biru camar putih masih bergelut bergurau canda dengan kekasihnya, gerimis tipis pun mulai datang menerpa dan menghapus gores-gores keletihan di wajahnya. Sesaat ia terdiam, Ia layangkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, namun apa yang dicarinya tidak juga ditemukan, pantai itu sunyi senyap, seperti pantai mati yang tiada berpenghuni.

Di tengah kegalauan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seseorang menuju ke arahnya. Mulanya ia tidak yakin, namun setelah agak lama, ketika orang itu kian mendekat, hatinya mulai legah. Berarti memang ada kehidupan di tempat ini, gumannya. Namun ketika orang itu betul-betul berada di dekatnya, hanya beberapa langkah saja darinya, ia mulai ragu, hatinya bimbang, ternyata orang itu adalah seorang perempuan cantik nan elok rupawan, rambutnya hitam lebat panjang terurai di balut selendang putih, bola matanya bulat berbinar tajam berhias alis mata lengkungan bulan sabit, hidungnya bangir tidak mencung, mukanya semu kemerah-merahan.

“Apakah betul ia seorang manusia!” pikir musafir muda. “Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari khayangan” gumannya bingung.

“Abang mau kemana, sepertinya abang baru di tempat ini,” sapa perempuan itu lembut, ia tersenyum, bibirnya merah, giginya putih berbaris rapi.

Laksana tersihir, musafir muda terdiam tidak bergerak, ia tidak yakin perempuan itu menyapanya.

“Abang mencari siapa?” sapa perempuan itu lagi, ia kian mendekat.

Musafir muda masih terdiam tidak percaya. Ia ingin lari lungkang pungkang. Jangan-jangan ia hantu jambangan yang ingin menyantapnya, bukankah tidak siapa-siapa di tempat ini, dan mustahil juga ada perempuan cantik yang hidup di tengah hutan seorang diri, pikirnya ketakutan.

“Namaku Suri, kalau abang ada keperluan, datang saja ke tempatku, rumahku ada di ujung sana, di balik hutan ini”

“Tapi…” musafir muda tidak melanjutkan kata-katanya, ia masih ragu,  ia masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

“Tapi apa…” sela yang mengaku bernama Suri itu, ia mundur beberapa langkah ke belakang, ia juga mulai ragu, jangan-jangan lelaki ini ingin mencelakakanku, bisiknya.

“Tapi, kenapa kamu bisa ada di tempa ini,” tanya musafir muda. Setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan di hatinya.

“Aku tinggal di sebalik hutan di sebelah sana, kampung kami di situ” jawab perempuan itu sopan.

Mendengar pengakuan gadis itu, musafir muda menjadi tenang, hatinya tidak ragu lagi, berarti tempat yang kutuju tidak salah, pikirnya. Namun ia tetap tidak berkedip menatap perempuan itu.

“Abang jangan menatapku serupa itu, aku jadi takut” kata gadis itu lagi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *